Menjaga Kesadaran Bersama dalam Keberagaman

“Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.” Kalimat pembuka itu disampaikan dengan tenang namun tegas Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, SIP, tokoh umat Hindu yang hadir menjadi narasumber pada Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025. Dalam sesi sharing pengalaman berjalan bersama, ia mengingatkan bahwa setiap manusia diciptakan oleh Tuhan yang sama, dan karena itu sudah sepantasnya kita saling menghormati dalam perbedaan.

Dituturkan dengan lembut dan bersahaja, Wisnu mengajak semua pihak untuk menyadari bahwa manusia hidup dalam keberagaman, bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila, dan bahwa tanggung jawab membangun bangsa bukan milik satu kelompok saja. “Kita ingin membangun manusia Indonesia seutuhnya, manusia rohani dan manusia jasmani,” ujarnya.

Kesadaran itu, menurutnya, dimulai dari hal-hal kecil: dari cara berpikir, berbicara, dan bertindak. Ia menekankan pentingnya membiasakan yang baik dengan berkata lembut, menghormati sesama, dan menghindari kekasaran dalam perkataan maupun perbuatan. Bagi umat Hindu, nilai-nilai seperti ini sejalan dengan ajaran dharma, menegakkan kebaikan dan menolak keburukan.

Ia mencontohkan kehidupan masyarakat Bali yang masih menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, yang dikenal dengan falsafah Tri Hita Karana. Di dalamnya terkandung ajakan untuk menyeimbangkan hubungan spiritual, sosial, dan ekologis.

“Jagalah tanah, air, hutan, dan laut,” ujarnya tegas. “Karena di situlah hidup anak cucu kita bertumpu.” Alam, baginya, bukan hanya sumber daya, tetapi juga ruang sakral tempat manusia belajar rendah hati.

Pancasila sebagai Rumah Bersama

Melanjutkan sharingnya, ia menegaskan kembali bahwa Pancasila adalah rumah bersama bagi semua umat. “Pancasila itu napas kita,” katanya lantang. Ia menguraikan makna tiap sila secara sederhana namun menyentuh: “Ketuhanan, bukan kesetanan; kemanusiaan yang beradab, bukan biadab; persatuan, bukan perpecahan; musyawarah untuk mencari solusi; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.”

Bagi dia, Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan juga jalan spiritual yang menyatukan seluruh warga. Ia mengingatkan peserta bahwa banyak tempat ibadah di Indonesia yang menjadi simbol kerukunan: Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta, Borobudur dan Candi Prambanan di Jawa Tengah, serta wihara di berbagai daerah. Semua berdiri sebagai bukti nyata bahwa Indonesia dibangun atas dasar saling menghormati.

Di akhir sesi, ia menutup dengan ajakan yang sederhana, bagaimana mewujudkan cinta tanah air dalam perbuatan. Ia juga mengingatkan generasi muda untuk tidak mudah menyerah, tetap menapaki hidup dengan bertahap dan tekun. Bagi dia, membangun bangsa adalah proses panjang, seperti menanam pohon: tidak bisa instan, tetapi harus dirawat dengan sabar dan cinta.

Dengan tegas ia memberi pesan: “Do the best. Lakukan yang terbaik bersama-sama kita bangun negeri ini.” Ucapannya sederhana namun penuh kebijaksanaan, karena lahir dari pengalaman panjang sebagai bagian dari bangsa yang majemuk.

**Amadea Pranastiti

Freelance, Contributor for Dokpen KWI

Foto: Tim Pubdok SAGKI 2025

Direpost ulang dari: https://www.mirifica.net

Leave a Reply

Your email address will not be published.