Jakarta – Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025 berjalan dengan dinamika penuh warna dan berdenyut dengan berbagai persoalan yang mengemuka sejak Senin, 3 November di Hotel Mercure Convention Center, Jakarta.
Nyaris empat ratus peserta dari seluruh keuskupan di Indonesia memenuhi Ballroom setiap hari. Masing-masing diberi kesempatan untuk mendengarkan, berdiskusi, berpendapat, menyanggah, berargumen. “Roh Kuduslah yang memimpin kita semua. Yang dibutuhkan hanyalah kesediaan untuk mendengar suara-Nya,”kata Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Monsinyur Anton Bunjamin OSC dalam pembukaan.
Hari pertama SAGKI 2025 dibuka dengan suasana penuh sukacita. Momen registrasi, tawa dan pelukan menandai kehangatan dan rasa persaudaraan dalam satu keluarga besar Gereja Indonesia. Salib WYD hadir di tengah-tengah peserta menjadi simbol persaudaraan lintas generasi, terutama bagi orang muda yang melihatnya, tanda kasih universal.
Menteri Agama yang memberi sambutan melalui video dan diwakili Dirjen Bimas Katollik Suparman Sirait menegaskan peran nyata Gereja Katolik dalam membangun perdamaian dan keadilan. “Gereja Katolik telah berkontribusi secara nyata bagi kehidupan bangsa,” ujarnya, seraya menegaskan bahwa semangat SAGKI 2025 selaras dengan cita-cita kebangsaan.
Hari-hari berikutnya diwarnai refleksi dan dialog. Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap mengajak Gereja untuk “keluar menuju jalan dan persimpangan kehidupan,” menghadirkan wajah Gereja yang misioner dan solider dalam misa pagi mengawali hari pertama.
Makna terdalam dari Gereja sinodal dan misioner: bukan Gereja yang menunggu orang datang, tetapi Gereja yang berani pergi keluar — keluar dari zona nyaman, keluar dari lingkaran yang serba aman, dan masuk ke jalan-jalan, lorong-lorong, serta persimpangan kehidupan manusia. Demikian Uskup Agung Medan ini menegaskan sebelum 2 sesi paparan dari 10 Provinsi Gerejawi berlangsung secara marathon.
Sorenya, paparan sosiolog dari STFT Widya Sasana, Malang Wayan Marianta SVD, Dosen STF Driyarkara Doktor Karlina Supelli, dan Teolog FA Purwanto SCJ memberi kerangka reflektif atas sharing yang disampaikan di pagi hari. Wayan menekankan perlunya kolaborasi misioner dan gotong royong misioner agar Gereja hadir secara kontekstual dan dialogis di tengah dunia, sementara Purwanto mengajak Gereja menumbuhkan paradigma sebagai “rumah sakit lapangan” yang berbelarasa dan reflektif. Karlina menutup sesi dengan ajakan agar Gereja Indonesia tetap berpihak pada kemanusiaan di tengah ketimpangan sosial-politik, seraya percaya bahwa Roh Kudus terus menghidupkan dan memberdayakan umat di tengah gelapnya zaman.
Konteks Ekonomi dan Sospol
Hari ketiga, Rabu, 5 November Sesi kelima SAGKI 2025 menghadirkan tiga pembicara—Mgr. Adrianus Sunarko OFM, Dr. Agustinus Prasetyantoko, dan Yunarto Wijaya—yang bersama-sama menyoroti peran Gereja di tengah dinamika bangsa. Mgr. Sunarko menegaskan bahwa Gereja sinodal adalah cara hidup umat Allah yang berakar pada komunio dan misi, menuntut partisipasi seluruh umat, keterbukaan pada Roh Kudus, serta keberanian memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas. Gereja, katanya, harus menjadi suara kenabian di tengah perubahan zaman.
Dr. Prasetyantoko mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi sejati tidak terlepas dari keadilan sosial, menyerukan keberpihakan pada masyarakat kecil dan penguatan etika publik. Sementara itu, Yunarto Wijaya menyoroti pentingnya menjaga rasionalitas dan kewarasan demokrasi di tengah perubahan sosial-politik dan kemajuan teknologi. Ketiganya berpadu dalam satu pesan: Gereja dipanggil untuk berjalan bersama bangsa, membaca tanda-tanda zaman, dan menjadi penabur harapan menuju kehidupan yang adil, terbuka, dan berkeadaban.
Dalam sesi sharing bersama yang dipandu Romo Yustinus Ardianto, empat narasumber — Tri Budi Raharjo, Suparman Sukamto, Monika Tataona, dan Wima Chrisyanti — berbagi pengalaman tentang bagaimana gereja semesta semestinya berjalan bersama kelompok lansia, difabel, orang muda, dan para aktivis lingkungan.
Beberapa gagasan kunci yang mengemuka antara lain; perlunya sekolah Lansia, pentingnya orang muda menemukan panggilan hidupnya sendiri, upaya hilirisasi sampah, serta perlunya sekolah Katolik memberi ruang bagi kaum difabel.
Sore hari, sesi lintas iman menghadirkan para tokoh dari berbagai agama seperti K.H. Anwar Iskandar (Islam, MUI), Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya (Hindu), Prof. Dr. Philip Kuntjoro Widjaja (Buddha), Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty (Protestan), Budi S. Tanuwibowo (Konghucu), Engkus Ruswan (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) dan dimoderatori Olga Lydia.
Meski tidak semua pembicara menyoroti tema dehumanisasi dan kerusakan lingkungan secara eksplisit, berbagai pandangan berharga muncul. Di antaranya: perlunya menciptakan ruang sosial bagi perjumpaan, membangun kerja sama antaragama, serta pengakuan terhadap agama-agama lokal sebagai “tuan rumah” spiritual bangsa Indonesia. Semua mengarah pada satu kesadaran bersama: kita semua adalah ciptaan Hyang Mahatinggi, dan karenanya wajib menjunjung tinggi kebersamaan dalam kemajemukan.
Diskusi juga menyinggung isu-isu aktual seperti cult of personality, gerakan child-free, LGBT, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta hak asasi manusia. Semua diulas dalam semangat mencari pemahaman bersama, bukan saling meniadakan.
Menggali ke Akar
Hari keempat SAGKI 2025 berfokus pada penyusunan rencana tindak lanjut pastoral. Setelah melalui rangkaian refleksi dan diskusi sejak hari pertama, peserta dibagi dalam kelompok per regio untuk merumuskan langkah konkret sesuai konteks sosial, ekonomi, dan pastoral masing-masing wilayah. Setiap regio diminta mengidentifikasi hingga tiga isu pokok yang paling mendesak bagi Gereja lokal, dengan menekankan analisis akar persoalan, bukan sekadar gejalanya.
Dalam semangat sinodalitas, peserta juga diajak menyadari kelemahan internal gereja dan menggali potensi kolaborasi dengan berbagai pihak. Rencana tindak lanjut mencakup program konkret, fondasi iman, arah transformasi, serta mekanisme monitoring dan evaluasi. Hasil diskusi kemudian dipresentasikan dalam pleno, memperkaya arah pastoral Gereja Katolik Indonesia agar semakin misioner, dialogis, dan transformatif dalam menanggapi tantangan zaman. Dalam proses inilah tampak seluruh elemen gereja menghadapi berbagai dinamika persoalan dan tantangan betapa berjalan bersama dengan siapa saja tidaklah mudah. Namun, semua itu tidak membuat langkah surut. Di tengah berbagai realita dan upaya yang telah dilakukan serta harapan akan masa depan yang bagus, semangat untuk terus melangkah ke depan tampak dalam gairah diskusi dan dialog yang berlangsung sepanjang hari dari pukul 8 pagi hingga pukul 7 malam.
Proses hari keempat berakhir dengan suasana yang rileks, malam keakraban. Semua bergembira dan merasakan gairah kembali. Berjalan sendiri memang kerap terasa kering, menyesakkan dan membuat surut harapan. Namun saat semua persoalan itu dijalani bersama, maka semua terasa lebih ringan.

**Abdi Susanto
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI
Foto: Tim Pubdok SAGKI 2025
Direpost ulang dari: https://www.mirifica.net
