Jakarta – Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo menegaskan, iman Kristiani yang sejati lahir dari hati yang berani digelisahkan oleh Tuhan dan dari Gereja yang menemukan Allah dalam sejarah kehidupan manusia. Demikian disampaikan Kardinal dalam homilinya di Misa Penutupan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025 di Ballroom Hotel Mercure Convention Center, Ancol, Jumat (07/11/2025).
Menurut Kardinal, Gereja yang hidup dari spiritualitas inkarnasi bukanlah Gereja yang mencari kenyamanan rohani, melainkan yang berani berjalan bersama di tengah dunia, membaca tanda-tanda zaman, dan menyelami realitas manusia untuk menemukan di sana kehadiran Allah yang bekerja dalam keheningan.
Perjalanan Bersama dalam Bimbingan Roh Kudus
Kardinal Suharyo memulai homilinya dengan ungkapan syukur atas seluruh proses SAGKI 2025 yang telah berlangsung sejak Senin (3/11). Ia berterima kasih kepada panitia, peserta, dan umat yang turut mengambil bagian dalam pertemuan besar Gereja Indonesia ini. Namun, lebih dari sekadar kegiatan organisasi, Kardinal menegaskan bahwa SAGKI adalah pengalaman iman yang dijalani dalam bimbingan Roh Kudus.
“SAGKI ini adalah proses perjalanan bersama dalam Roh Kudus,” ujarnya. “Sepanjang perjalanan ini kita belajar saling mendengarkan, membuka hati, dan menemukan bahwa Roh Kudus bekerja di antara kita.”
Ia mengenang momen sederhana namun berkesan ketika dalam kelompok kecil, para peserta mulai terbuka dan mendengarkan satu sama lain. “Di situlah Roh Kudus bekerja,” katanya, “ketika setiap orang didengarkan, diterima, dan diberi ruang untuk berbicara.”
Bagi Kardinal, pengalaman itu menjadi cermin nyata Gereja sinodal, yang tidak dibangun oleh keputusan-keputusan besar semata, tetapi oleh keheningan hati yang mau mendengar suara sesama dan suara Roh Kudus yang hadir di dalamnya.
Mencari Buah dari Perjalanan Sinodal
Setelah sidang selesai, Kardinal mengajak seluruh peserta merenungkan pertanyaan yang sederhana namun dalam: “Apa yang diperlukan agar semua yang telah kita jalani ini sungguh berbuah di kemudian hari?”
Pertanyaan itu, katanya, membawa kita pada hakikat hidup Kristiani, yakni spiritualitas inkarnasi: iman yang tidak menjauh dari dunia, melainkan yang menemukan Allah dalam sejarah, dalam manusia, dan dalam kehidupan yang konkret.
“Kalau kita mau berjumpa dengan Allah, jangan mencarinya di awang-awang. Allah hadir dalam sejarah. Kerendahan dan kasih-Nya nyata dalam kehidupan sehari-hari: di paroki, di lingkungan, di dunia kerja, di tengah keluarga,” tegasnya. Dengan nada lembut ia menambahkan, “Di sanalah Allah berinkarnasi, dan di sanalah Gereja harus hadir.”
Doa yang Memohon Kegelisahan
Dalam bagian homilinya yang paling menyentuh, Kardinal Suharyo mengajak umat untuk berani berdoa agar hati digelisahkan oleh Tuhan. Ia menjelaskan bahwa dalam kehidupan rohani, doa tidak selalu berarti mencari ketenangan. Kadang justru kegelisahan rohani menjadi tanda bahwa Roh Kudus sedang bekerja dalam diri manusia.
“Biasanya kita berdoa agar hati kita tenang,” katanya, “tetapi dalam spiritualitas inkarnasi, kita justru perlu berdoa agar hati kita digelisahkan oleh Tuhan.”
Kegelisahan yang dimaksud bukanlah kebingungan, melainkan kerinduan yang suci—kegelisahan yang membuat manusia terus mencari kehendak Allah dan tidak berhenti pada kepuasan diri.
Ia mengutip doa Santo Agustinus: “Hatiku tidak akan tenang sampai beristirahat dalam Engkau, ya Tuhan.”
Menurut Kardinal, hati yang terlalu tenang di hadapan penderitaan dan ketidakadilan justru memerlukan kegelisahan dari Allah. “Kegelisahan rohani menandakan hati yang hidup, yang tidak ingin berhenti mencari Tuhan dalam dunia nyata,” ujarnya.
Akal Budi dan Doa: Dua Sayap Pembedaan Roh
Setelah berbicara tentang doa, Kardinal Suharyo mengingatkan bahwa iman yang matang tidak cukup hanya dengan perasaan atau semangat, melainkan juga dengan akal budi yang jernih. “Tuhan memberi kita akal budi, dan itu juga rahmat,” katanya. “Maka doa harus berjalan bersama dengan refleksi dan penelaahan yang mendalam.”
Kardinal menjelaskan, discernment — pembedaan roh — adalah proses menyatukan doa dan pikiran: mendengarkan Roh Kudus dengan hati, tetapi juga menimbangnya dengan akal sehat. “Kalau hanya berdoa tanpa berpikir, kita mudah tersesat oleh perasaan sendiri. Tapi kalau hanya berpikir tanpa berdoa, kita jatuh dalam kesombongan intelektual,” ujarnya.
Baginya, inilah keseimbangan spiritualitas inkarnasi: doa yang berpikir dan pikiran yang berdoa. Sebuah cara hidup yang membuat Gereja tetap membumi sekaligus setia pada Roh Kudus. “Apa yang Harus Kita Lakukan supaya Allah Semakin Manusia?”
Mengalir dari refleksi tentang doa dan akal budi, Kardinal Suharyo lalu mengajukan pertanyaan mendalam yang menjadi inti seluruh homilinya: “Apa yang harus kita lakukan supaya Allah menjadi semakin manusia, dan kemanusiaan semakin mencerminkan Allah?”
Pertanyaan ini, katanya, harus dijawab oleh setiap orang sesuai panggilannya. “Kalau yang bertanya adalah seorang ibu, mungkin jawabannya adalah mendidik anak dengan kasih. Kalau yang bertanya adalah pejabat publik, mungkin jawabannya adalah bekerja demi kesejahteraan bersama. Semuanya berbeda, tetapi semangatnya satu: menghadirkan wajah Allah dalam kemanusiaan.”
Menurutnya, jawaban atas pertanyaan itu menuntut kompetensi rohani dan kepekaan terhadap realitas. Karena itu, Gereja harus terus membina iman yang cerdas, mendalam, dan berakar pada pengalaman hidup. “Mari kita menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus,” katanya mengutip surat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi. “Kalau kita melakukan itu, berarti kita sudah menjawab panggilan iman kita.”
Kisah Pohon dan Keseimbangan Kehidupan
Menjelang akhir homili, Kardinal Suharyo menceritakan sebuah kisah sederhana:
Di sebuah hutan, berdiri pohon besar yang menjadi rumah bagi burung, tupai, dan serangga. Suatu hari seorang pemburu hendak menebang pohon itu. Seekor burung berkata, “Jangan lakukan itu, karena kami akan kehilangan rumah.” Namun pemburu menjawab, “Hanya satu pohon saja.”
Ketika pohon itu tumbang, seluruh kehidupan di hutan terganggu. Sarang-sarang hancur, tupai kehilangan tempat, dan keseimbangan alam rusak. “Kisah ini mengingatkan kita,” ujar Kardinal, “bahwa ketika satu bagian tubuh Gereja rusak, seluruh tubuh ikut terluka. Tetapi ketika satu bagian tumbuh dalam kasih, seluruh tubuh ikut dikuatkan.”
Kisah sederhana itu menjadi simbol ekologi kasih — kesadaran bahwa setiap tindakan kecil berpengaruh pada kehidupan bersama.
SAGKI Selesai, Tapi Perjalanan Gereja Belum Usai
Menutup homilinya, Kardinal Suharyo menegaskan bahwa berakhirnya SAGKI 2025 bukan akhir dari perjalanan Gereja, tetapi awal dari panggilan baru. “SAGKI telah selesai, tetapi perjalanan Gereja Indonesia belum selesai,” katanya. “Kita semua akan kembali ke paroki, ke komunitas, ke dunia kerja masing-masing, membawa semangat sinodal, misioner, dan pembawa damai.”
Ia mengajak umat untuk tidak melupakan Roh Kudus yang menuntun selama pertemuan ini. “Semoga Roh Kudus terus bekerja di hati kita semua,” ujarnya lembut. “Semoga kita sungguh menjadi Gereja yang berjalan bersama, menghadirkan damai dan kasih Kristus di tengah dunia.”

**Abdi Susanto
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI
Foto: Tim Pubdok SAGKI 2025
Direpost ulang dari: https://www.mirifica.net
