Meskipun telah berulang kali menyaksikan banjir rob yang menghancurkan rumah dan mata pencaharian warga, Sr. Vincentia Sabarina, HK, bersama para suster lain dan masyarakat sekitar, terus hadir membantu penduduk pesisir Desa Sidodadi, Kabupaten Pesawaran, Lampung.
Ketika Laut Tak Lagi Bersahabat
Setiap kali air pasang datang, warga Sidodadi sudah bersiap menghadapi ancaman banjir.
Ombak yang menghantam daratan tak hanya menggenangi rumah, tetapi juga menghanyutkan jaring-jaring ikan yang dijemur di pantai. Laut yang dahulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi ancaman harian. Banyak keluarga harus meninggikan barang-barang mereka di atas panggung kayu, sambil berharap air tidak naik terlalu tinggi.
Namun, di tengah ketidakpastian itu, benih harapan baru mulai tumbuh di tepian pantai berlumpur. Warga, mahasiswa, dan komunitas lintas iman bergandeng tangan menanam ribuan pohon mangrove—berjuang memulihkan kembali daratan yang telah direbut oleh air laut.

Dari Kepedulian Menjadi Aksi Bersama
Sr. Vincentia Sabarina, biarawati dari Kongregasi Suster Hati Kudus Yesus (HK) sekaligus Animator Pendidikan Gerakan Laudato Si’ Indonesia, menjadi salah satu penggerak utama.
Melihat rumah-rumah terendam dan penghasilan warga menurun drastis, ia mengubah keputusasaan menjadi gerakan ekologis yang memberi harapan baru.
“Rumah mereka bisa kebanjiran dua hingga tiga kali dalam sehari,” ujarnya prihatin.
Keluarga nelayan Sidodadi telah lama berjuang melawan abrasi dan hasil tangkapan yang kian menurun. “Sekarang, untuk mendapatkan dua sampai empat ekor kepiting saja sulit,” tambahnya.
Tergerak oleh situasi itu, Sr. Vincentia berkolaborasi dengan Pak Aan, seorang nelayan yang telah lebih dulu menanam bibit mangrove. Bersama-sama mereka membangun gerakan reboisasi berbasis masyarakat untuk melindungi pesisir dan rumah-rumah warga.

Iman Bertemu Ekologi
Momentum datang ketika Keuskupan Tanjungkarang mengangkat tema pastoral: “Cinta bagi Kehidupan dan Lingkungan.”
Menangkap semangat itu, Sr. Vincentia meluncurkan program “Penanaman Mangrove Lintas Sektor Menuju Ekologi Integral” bekerja sama dengan Gerakan Laudato Si’ Indonesia Wilayah Lampung.
Seruannya dengan cepat menyebar di media sosial. “Kami berhasil mengumpulkan seribu bibit mangrove,” ujarnya dengan gembira. Puluhan mahasiswa, termasuk pemuda Muslim, turut berdonasi dan ikut menanam.
Penanaman tahap pertama dilaksanakan pada 25 Oktober 2025, disusul dua tahap berikutnya pada Maret dan Juli 2026, dengan target total 5.000 pohon mangrove.
Antusiasme masyarakat luar biasa: dari 150 relawan yang mendaftar, hanya 75 orang yang diterima karena keterbatasan lokasi.
“Bukan karena ingin eksklusif,” jelas Sr. Vincentia, “tetapi karena kami butuh orang yang benar-benar mau turun ke lumpur, bukan sekadar datang untuk berfoto.”

Lebih dari Sekadar Konservasi
Pada hari penanaman, para relawan berjalan sejauh 300 meter ke tengah lumpur untuk menanam bibit. Sr. Vincentia turut didampingi oleh rekan-rekan suster HK: Sr. Meriam, Sr. Sofie, dan Sr. Yolanda.
Baginya, proyek ini bukan sekadar pelestarian lingkungan, melainkan tindakan solidaritas lintas iman—antara nelayan, mahasiswa, dan komunitas religius—yang berjuang bersama untuk bertahan hidup.
“Menanam mangrove bukan hanya memperkuat garis pantai dan memulihkan ekosistem,” katanya. “Lebih dari itu, ini adalah ungkapan kasih kita pada bumi tempat kita berpijak.”
Tantangan: Alam, Dana, dan Edukasi
Sr. Vincentia mengakui bahwa mempertahankan program ini tidak mudah. “Air pasang dan kondisi laut menentukan segalanya—mulai dari waktu tanam hingga perawatan lanjutan,” katanya.
Komunitas menggunakan metode gulutan, yaitu menanam sekitar dua puluh bibit di dalam keranjang bambu yang diberi lumpur agar tidak hanyut. “Dengan cara ini, biasanya delapan belas bibit bisa bertahan,” jelasnya.
Tantangan lain adalah pendanaan. “Bibit memang mudah ditemukan, tetapi mencari dana untuk membelinya tidaklah mudah,” ujarnya.
Sebagian warga kini mulai beralih profesi: dari nelayan menjadi pembibit mangrove, meski sebagian masih tetap melaut dengan hasil yang minim. Transformasi ini, menurut Sr. Vincentia, memaksa masyarakat mencari sumber penghasilan lain sambil belajar mencintai dan merawat pesisir mereka.
Ia juga menekankan pentingnya pendidikan ekologis bagi warga setempat. Tim Laudato Si’ rutin memberikan edukasi tentang manfaat mangrove bagi pengendalian abrasi, pemecah gelombang, dan tempat berkembang biak ikan, udang, serta kepiting.
Harapan yang Tumbuh
Untuk keberlanjutan proyek, warga Sidodadi bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Pesawaran agar dapat membangun tanggul dan mengatasi abrasi pantai. Proyek ini juga terbuka bagi partisipasi mahasiswa lintas agama serta organisasi lingkungan.
“Kami ingin semakin banyak orang terlibat—kaum muda lintas iman, komunitas lintas sektor, siapa pun yang peduli pada ciptaan,” ungkap Sr. Vincentia.
Kini, kawasan bekas tambak yang dulu terendam air telah berubah menjadi Zona Ekowisata Mangrove, memberikan pendapatan alternatif dan kesadaran ekologis baru bagi masyarakat.
“Manfaatnya mulai terasa,” katanya dengan senyum. “Mungkin dari gerakan kecil ini, akan tumbuh sumber harapan baru.”
Bagi Sr. Vincentia, apa yang mereka lakukan bukan sekadar proyek lingkungan, melainkan perwujudan iman yang konkret atas ajaran Paus Fransiskus dalam Laudato Si’:
**Mathias Hariyadi – Indonesia, LiCAS News
Foto: Dokumen Pribadi
Diterjemahkan dan disadur kembali oleh Fr. Bednadetus Aprilyanto dari: https://www.vaticannews.va
