Surat Gembala Arah Dasar II Keuskupan Agung Palembang: Tahun Keluarga

PANGGILAN SUAMI – ISTRI SUKACITA KESELAMATAN

Saudara-saudari terkasih,

Tahun Ardas ke-2 kita mulai bersamaan dengan Tahun Kalender Liturgi yang baru, yang dimulai dengan perayaan Masa Adven. Masa Adven adalah masa penantian. Kita menantikan kedatangan Tuhan dengan penuh sukacita dan pengharapan sambil memantaskan diri membaharui hidup. Secara khusus, tahun ini Keuskupan Agung Palembang mengisi Arah Dasar (Ardas) tahun ke-2 dengan nama Tahun Keluarga. Keluarga kristiani adalah Ecclesia Domestica (Gereja Kecil).

Saya berharap Tahun Keluarga ini dapat dijadikan “Tahun Retret Agung Keluarga”. Semoga Umat yang terpanggil hidup berkeluarga dapat merenungkan tanggung jawab dan panggilan luhur ikatan suami-istri dalam martabat mulia Sakramen Perkawinan. Kesatuan suami-istri hendaknya disadari bukan hanya untuk tujuan kebahagiaan masing-masing pasangan (bdk. Kan 1055), melainkan untuk panggilan memuliakan martabat manusia dan menyelamatkannya. Keselamatan juga harus diartikan bukan hanya untuk kehidupan setelah kematian nanti, melainkan termasuk kesejahteraan spiritual rohani, kebahagiaan psikologis batiniah dan kematangan kemanusiaan setiap anggotanya dalam kehidupan sekarang.

Keluarga Kudus adalah model keluarga Katolik | Foto: Pinterest

Proses Panjang Pembinaan Diri

Dalam pendidikan imam dan religius (biarawan/biarawati) ada proses panjang dan serius yang disebut “pengolahan hidup”. Dalam tahap-tahapan proses panjang pengolahan hidup itu diusahakan penyembuhan luka-luka batin dan pengembangan talenta-talenta atau hal-hal positif untuk menjadikan seseorang menjadi pribadi yang matang dan dewasa secara fisik, psikologis, rohani dan spiritual.

Memang harus diakui bahwa kedewasaan kepribadian dan kematangan spiritual itu proses seumur hidup, tidak selesai pada tahap tertentu di masa pendidikan. Pendidikan karakter kepribadian seringkali harus menyerah pada pengandaian. Melalui tahapan-tahapan tertentu itu, yang hanyalah merupakan sarana penolong, diharapkan dengan kesadaran dan usahanya sendiri seseorang mengolah dan mengembangkan diri sehingga tercapai kematangan pribadi yang ideal. Keterbukaan dan kejujuran kepada pembimbing dan semangat membaharui diri terus-menerus, sangat menentukan hasil akhir pembinaan tersebut.

Jika panggilan hidup imam dan religius yang dibentuk dengan serius bisa berbuah yang tidak diharapkan, apalagi dalam dunia perkawinan. Pendidikan “formal” perkawinan dalam Gereja sesungguhnya sangat singkat. Hanya ada beberapa kali pertemuan katekese persiapan perkawinan. Selebihnya mengandalkan pengandaian. Diandaikan secara alamiah masing-masing pribadi mengerti dengan baik, siap dan dapat menghayati nilai-nilai perkawinan sesuai perannya baik sebagai suami maupun istri. Pengandaian tersebut bisa berbuah kesalahan, misalnya karena belum siap atau karena belum saling mengenal. Panggilan kepada hidup menikah sebaiknya dipikirkan sejak remaja, pada masa pacaran, menjelang menikah, dan bahkan setelah menikah (bdk. Kan 1063; Amoris Laetitia, bab VI). Kesadaran diri maupun pendampingan yang memadai hendaknya mencakup perkembangan kematangan fisik serta kematangan psikologis dan rohani atau spiritual.

Syukur atas Kesetiaan yang Terus Dipelihara

Namun kita tetap harus bersyukur bahwa, kendati pun ada kegagalan, masih jauh lebih banyak romo dan religius (biarawan-biarawati) yang hidupnya baik, saleh, mengejar kesempurnaan rohani dengan tidak mengenal lelah, menghidupi olah tapa tanpa jemu,melakukan karya pelayanan pastoral tanpa pamrih, memberikan hidupnya bagi Gereja dan umat Allah tanpa syarat. Gereja sangat berterima kasih kepada mereka sambil tetap mendorong mereka untuk semakin menampakkan kebaikan Allah kepada dunia.

Demikian halnya juga jauh lebih banyak pasangan suami-istri yang menghidupi panggilan hidup berkeluarga dan menghayati sakramen perkawinan dengan sepenuh hati, segenap jiwa dan raga; mencari rejeki untuk memenuhi kesejahteraan keluarga tanpa melupakan syukur kepada Tuhan, yang kendatipun sibuk dengan berbagai pekerjaan dan tugas di masyarakat masih menyempatkan diri ikut berbagai kegiatan rohani keagamaan dan sosial kemanusiaan; suami-istri yang memberikan keteladanan terus menerus pada anak-anak mereka, yang malu jika anak-anak mereka kurang gizi atau putus sekolah atau tidak tahu berdoa dan tidak mengenal Gereja; suami-istri yang tulus sepenuh hati rela berkorban mendampingi pasangannya yang sedang menderita sakit, suami-istri yang terus menerus merayakan dan membaharui ikatan cinta mereka setiap hari sampai ajal memisahkan mereka. Bunda Gereja sangat bangga mempunyai putra-putri yang menghayati panggilan berkeluarga sebagai cerminan kasih Allah pada manusia (bdk. Amoris Laetitia Bab IX; Ef 5: 31- 33).

Kesatuan Lahir dan Batin

Kesiapan kematangan fisik, psikologis dan spiritual sesungguhnya jauh lebih penting dari sekedar kesiapan finansial dan kemeriahan upacara perkawinan. Kematangan kepribadian akan memungkinkan masing-masing pasangan siap untuk menerima sepenuhnya pasangannya apa adanya dan bukan menuntut idealnya menurut apa yang dipikirkan. Setiap pribadi begitu memasuki hidup perkawinan harus siap untuk menjadi belahan jiwa bagi pasangannya, siap melengkapi dan mengampuni kekurangan pasangannya, siap untuk berbagi suka dan duka berdua setiap hari sehidup semati, dan siap tidak mementingkan diri sendiri untuk menjadi ayah atau ibu bagi anak-anaknya. Adanya percekcokan dan pertengkaran apalagi sampai terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tuntutan untuk berpisah adalah sikap kekanak-kanakan yang mencerminkan ketidaksiapan untuk menjadi satu daging dan cerminan sikap mementingkan diri sendiri. Beratnya hidup perkawinan tetapi sekaligus indahnya adalah mengusahakan kesatuan dua pribadi yang berbeda itu setiap hari tanpa mengenal lelah. Kebersamaan dua pribadi itu hendaknya meluapkan suka cita seperti kebahagiaan Adam ketika menjumpai penolongnya yang sepadan dengan dia (bdk. Kej 2: 23).

Hal-hal lahiriah yang nampak dari luar sering dapat didiskusikan dengan baik. Misalnya bagaimana upacara pernikahan akan dilangsungkan, bentuk rumah harus dibangun,bagaimana interiornya harus dirancang dan diisi apa, cat warna apa yang akan dikenakan, kendaraan apa yang harus dibeli, warna pakaian dan perhiasan apa yang harus dikenakan ketika bersosialisasi dengan orang lain. Itu semua pasti mudah, karna lahiriah dan bisa dilihat orang dan orang lain bisa ikut berpendapat: sebaiknya begini, sebaiknya begitu, wah serasi sekali, wah bagus sekali, kalian ini memang pasangan yang ideal, …dan sebagainya. Nasehat dan pendapat orang lain akan dapat meneguhkan rumah tangga pasutri.

Tetapi ada hal-hal kecil, mungkin bisa disebut sikap batin atau mentalitas yang kurang pas, yang tanpa sadar dilakukan dan dianggap wajar tidak perlu didiskusikan padahal sangat mengganggu perasaan hati pasangannya. Misalnya cara mengunyah makanan, cara meletakkan piring atau pakaian kotor, cara berbicara kepada tamu atau pembantu, cara duduk ketika nonton tv, cara menyimak pasangannya ketika dia sedang berbicara, kebiasaan tidak sikat gigi atau bahkan tidak mandi, kebiasaan malas bangun dan tidak disiplin, cara menutup pintu atau mematikan lampu, cara memakai media sosial, perhatian pada tanaman dan klangenan (pets), sampai ke hal hubungan intim … dan sebagainya. Ini semua dialami berdua di rumah dan tidak dilihat oleh tetangga. Tetangga tidak bisa berkomentar dan memberi saran, sementara pasutri sendiri merasa tidak pantas menceriterakan kepada orang lain karena merasaakan membuka aibnya sendiri. Bisa jadi hal-hal yang tidak disukai itu pernah dibicarakan, diingatkan, namun karena masing-masing menganggap wajar dan tidak merasa mengganggu maka kebiasaan tidak menyenangkan tersebut berlanjut menyakitkan terus.

W. Hugh Missildine, MD. dalam The Inner Child of the Past mengatakan bahwa sikap mental masa kecil yang kurang baik dan tidak sadar dibawa ke dalam hidup perkawinan bisa menjadikan perkawinan berantakan. Seseorang pastilah akan mengalami kesulitan hidup bersama jika sewaktu kecil sudah diajari mandiri, kemudian bertemu dengan pasangan yangsampai kuliah pun masih dilayani pembantu; atau yang ketika kecil sudah diajari bekerja keras dan berhemat bertemu dengan pasangan yang sejak kecil manja, senang jajan dan boros; atau orang yang waktu kecil terbiasa berbicara santun bertemu dengan pasangan yang tidak pernah diajari cara berbicara yang baik. Bahkan pasangan yang sewaktu kecil sama-sama manja atau sama-sama terbiasa bekerja keras, juga bisa mengalami kesulitan menyatukan diri.

Setiap pasangan harus menyadari dan mengerti bahwa pasangannya mempunyai masa lalu yang berbeda dengan dirinya yang mendasari hidup dewasanya. Tidak ada orang yang sempurna, namun setiap orang bisa berusaha membaharui diri. Maka duduklah, berbicaralah, bertanya dan memberi jawaban, dan membuat komitmen bersama. Hendaklah setiap pasangan siap sedia setiap saat melakukan dialog, berwawan hati, berbagi diri, berbagi pandangan dan perasaan, berbagi mimpi-mimpi, cita-cita dan keinginan. Ketika yang satu bicara, yang lain harus mau mendengar, menyimak dan mengerti. Jika yang satu diam, yang lain harus berani bertanya, berbicara, meminta penjelasan dan klarifikasi. Jika terjadi perbedaan, tidak baik jika kedua-duanya sama-sama bicara, apalagi berbicara dengan nada yang saling meninggi berlomba mengalahkan yang lain. Juga tidak baik jika keduanya saling mendiamkan dan menganggap perbedaan itu sebagai hal yang sepele. Memendam ketidaksukaan itu tanpa disadari bisa melahirkan tutur kata dan bahkan tingkah laku aneh yang menyakitkan pasangannya.

Setiap pasangan hendaklah siap saling terbuka dan dengan jujur saling membimbing mematangkan kemanusiaan dan kerohanian pasangannya. Kesatuan dua pribadi yang berbeda yang diusahakan setiap hari tanpa kenal lelah itu akan mendatangkan sukacita.

Hidup Berkeluarga adalah Panggilan Luhur

Gereja Katolik tetap mempertahankan nilai luhur pernikahan dan kesatuan laki-laki dan perempuan seumur hidup sampai ajal memisahkan mereka bukan karena ingin berbeda dengan kelompok lain melainkan karena ingin setia pada ajaran Tuhan. Dua pribadi itu bukan lagi dua melainkan satu (Kej 2: 24; Mat 19: 5-6). Ajaran lain dan kepentingan duniawi apapun tidak boleh mengalahkan kehendak dan perintah Tuhan. Keluarga adalah institusi sosial yang didirikan oleh Allah sendiri (Kej 2: 21 – 24). Allah juga yang memberkatinya Kej 1: 28). Allah bahkan meneguhkannya dengan menghadirkan Putera-Nya menjadi bagian dari keluarga (Luk 1: 30-35; 2: 51-52).

Setiap manusia akan menjadi manusia yang matang, dewasa, berbudi dan bermartabat luhur manusiawi jika tumbuh dalam keluarga yang orang tuanya menghidupi kesatuan dalam ikatan kasih yang bulat tak terbagi. Martabat mulia sakramen perkawinan yang mengikat manusia laki-laki dan perempuan adalah sarana keselamatan Allah bagi masing-masing pasangan, tetapi juga bagi semua orang yang akan bersamanya dalam keluarga dan masyarakat sekitar mereka. Situasi untung maupun malang tidak boleh mengalahkan maksud Allah untukmemberikan rahmat dan berkat-Nya bagi setiap pribadi dalam keluarga dan masyarakat. Maka kesatuan suami-istri hendaknya dihayati sebagai panggilan luhur dalam ambil bagian pada kemurahan hati dan rencana keselamatan Allah bagi manusia (Bdk. Amoris Laetitia Bab1).

Saya sangat berharap bahwa keluarga kristiani, karena dihidupi oleh pribadi-pribadi yang baik, akan meneguhkan setiap anggotanya untuk menghadirkan kerajaan Allah yakni kerajaan kasih, sukacita dan keselamatan. Semoga keluarga-keluarga kristiani juga mampu ambil bagian membentuk masyarakatnya menjadi masyarakat yang rukun, harmonis, saling mengenal dan penuh perhatian sebagai sesama saudara dalam kemanusiaan dan persaudaraan yang sejati.

Download PDF File:

Powered By EmbedPress