“Guru bukan sekedar profesi. Guru merupakan sebuah panggilan,” ungkap RD Martinus Widiyanto, dalam Rekoleksi Guru dan Karyawan Xaverius Muara Bungo – Bangko. Kegiatan ini dilaksanakan di lobby TK Xaverius Muara Bungo pada Kamis, (23/5). Tema yang diusung SHARe: Scientia (berilmu), Humanis (manusiawi), Habitus (tegar), dan Credere (beriman).
Romo Widi, menegaskan seorang guru bukan hanya mengajar (to teach), tapi juga mendidik (to educate) dan membentuk (to form) pribadi anak didik. Lebih lanjut, imam diosesan yang ditahbiskan pada 15 Juli 2014 ini mengingatkan gagasan penting dari dua tokoh nasional, perihal jati diri seorang guru.

“R.A. Kartini (Pejuang Emansipasi Wanita) pernah menegaskan bahwa seorang guru bukan hanya sebagai pengasah pikiran saja, melainkan juga sebagai pendidik budi pekerti. Sedangkan, Ki Hadjar Dewantara (Bapak Pendidikan Indonesia) pernah berujar bahwa setiap orang adalah guru, setiap rumah menjadi sekolah. Menyadari hal ini, semua orang dan semua keluarga perlu terus berguru kepada Sang Guru Agung, Yesus Kristus.” kata Kepala Kantor Perwakilan Yayasan Xaverius Palembang Wilayah Muara Bungo – Bangko.
Di hadapan 43 orang yang terdiri dari kepala sekolah, guru, dan karyawan, Romo Widi mengajak mereka merenungkan perumpamaan ilalang di antara gandum. Panggilan menjadi guru yang baik, katanya, bukan hal mudah. Ada tantangan seperti ilalang.




Benih ilalang dapat berupa pemikiran, pandangan, provokasi dalam keluarga, agama, masyarakat, media. Gaya hidup dan sikap tak baik yang dipertontonkan secara langsung atau melalui media, bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan. Inilah yang menjadi tantangan.
“Setia berguru kepada Sang Guru merupakan sikap dasar yang mestinya dimiliki. Yesus Kristus, Sang Guru memberi beberapa teladan yang hendaknya dihidupi oleh semua guru.”
Meneladani Sang Guru
Romo Widi menguaraikan empat teladan Kristus yang dapat diterapkan dalam pelayanan seorang guru. Pertama, konsekuen antara kata dan perbuatan. Jangan menjadi ‘guru palsu’. “Mereka mengajarkan tetapi tidak melakukan” [Mat 23:3]. Keteladaan merupakan cara tepat dalam pembinaan karakter.
Kedua, sabar terhadap murid-murid. Kita bisa belajar dari kesabaran Yesus dalam menghadapi para murid-Nya. Misalnya, di kala Filipus sulit mengenali Yesus [bdk. Yoh 14:8-9]; Yesus, Sang Guru dengan sabar menjelaskan kembali. Berhadapan dengan Thomas yang sering ragu [bdk. Yoh 20:27]; Sang Guru Agung mendatangi, mengajak bicara, dan meneguhkan iman Si Thomas dengan penuh kesabaran.
Ketiga, dekat dengan Para murid. “Duduk makan bersama-sama dengan kedua belas murid” [bdk. Mat 26:20]. Duduk bersama simbol rendah hati, makan bersama simbol suasana kekeluargaan menunjukan sikap Sang Guru yang dekat dengan murid-murid-Nya.
Keempat, cinta kepada para murid. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” [bdk. Yoh 15:13]. Sebuah pemberian diri yang total sebagai ungkapan cinta. Hendaknya Guru tak sekedar menjalankan peran profesi tanpa hati, namun berani memberikan diri secara total penuh cinta sehingga menjalankan perannya sepenuh hati. Sebuah ‘peran’ yang dilakukan dengan hati, menjadi per-hati-an.


Rekoleksi juga diisi dengan sesi pleno, di mana para peserta dibagi menjadi lima kelompok, untuk mendiskusikan beberapa pertanyaan terkait materi rekoleksi. Dari hasil diskusi, masing-masing kelompok mengungkapkan harapan mereka. Rekoleksi dimahkotai dengan Ekaristi.
**Sheny Ronauli Sianturi
Tulisan yang menginspirasi,. semoga semua guru berani dan mau belajar dari Sang Guru