1 Timotius 3:14–16; Mazmur 111:1–6;
Lukas 7:31–35; BcO: Hosea 11:1–11; (H)
Buah Kasih

Dalam kisah Injil hari ini Yesus berbicara tentang sikap keras hati orang-orang pada zaman-Nya. Ia menggambarkan mereka seperti anak-anak yang sedang bermain di pasar. Anak-anak itu mengajak teman-temannya bermain seruling, tetapi tidak ada yang menari; mereka menyanyikan lagu duka, tetapi tidak ada yang menangis. Artinya, apa pun yang dilakukan, selalu ditolak.
Demikianlah sikap orang banyak terhadap Yohanes Pembaptis dan Yesus sendiri. Yohanes datang dengan hidup asketis, penuh pertobatan, sederhana dan keras dalam pewartaan, tetapi ia dituduh kerasukan setan. Sebaliknya, Yesus yang datang dengan penuh kasih, ramah, makan dan minum bersama orang berdosa, tetapi Ia disebut “rakus dan peminum”. Dengan kata lain, bukan soal pewartaan yang bermasalah, tetapi hati manusia yang tidak mau terbuka.
Yesus sedang menyingkapkan sikap dasar manusia yang sering kali mencari alasan untuk menolak kehendak Allah. Ada orang yang selalu merasa tidak puas: kalau keras, dikritik; kalau lembut, diremehkan. Jika tidak sesuai dengan selera pribadi, langsung ditolak. Sikap seperti ini membuat manusia kehilangan kesempatan untuk merasakan kehadiran Allah. Kita sering mengharapkan Tuhan datang dengan cara tertentu yang sesuai dengan keinginan kita. Tetapi Allah bebas bekerja melalui siapa saja dan dengan cara apa saja. Ada kalanya Ia berbicara dengan keras, menegur, bahkan “menyakitkan”. Namun, ada kalanya Ia hadir dengan penuh kelembutan dan persahabatan seperti Yesus. Dua-duanya berasal dari Allah, dua-duanya menghadirkan kasih dan kebenaran-Nya.
Sering kali kita bersikap seperti orang banyak dalam Injil ini. Kita cepat menilai, menghakimi, atau mencari alasan untuk menolak. Padahal, yang terpenting adalah bagaimana kita melihat Allah bekerja melalui keberagaman cara pewartaan dan kesaksian. Allah tidak pernah berhenti berbicara. Yang menjadi masalah bukanlah cara-Nya, melainkan hati kita yang keras, sibuk dengan penilaian, dan sulit membuka diri. Maka dari itu mari semua kita belajar untuk membuka hati dan melihat secara lebih luas agar kita pun tidak terjebak pada pikiran kita saja.
Yesus menutup dengan kalimat: “Tetapi hikmat dibenarkan oleh semua orang yang menerimanya.” (ay. 35). Artinya, kebenaran Allah pada akhirnya akan tampak melalui buahnya. Yohanes dengan segala kesederhanaan dan Yesus dengan kasih-Nya, keduanya membuahkan pertobatan, keselamatan, dan karya Allah yang nyata. Dalam hidup kita pun demikian: hikmat bukanlah soal banyak bicara atau teori, melainkan soal bagaimana kita menampakkan buah kasih, kerendahan hati, dan kesetiaan dalam hidup sehari-hari. Semoga Tuhan senantiasa memberkati kita.
Fr. Oliver Dito Agung Bekam Saputra
Tingkat 1-Calon imam KAPal