Gereja Sebagai Rumah Sakit Lapangan: Wajah Belas Kasih Allah di Tengah Luka Dunia

JAKARTA – Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025 hari kedua menghadirkan beberapa narasumber untuk memberikan pencerahan bagi para peserta. Salah satu narasumber adalah Rm. Dr. F.A. Purwanto, SCJ, Dosen Teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia memaparkan materi berjudul “Menjalani Misi Gereja Katolik Indonesia dalam Perspektif Gereja sebagai Rumah Sakit Lapangan.”

Paparannya diilhami oleh pemikiran Paus Fransiskus yang tertuang dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium: “Saya lebih suka Gereja yang memar, terluka, dan kotor karena telah keluar ke jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena tertutup dan nyaman dengan kenyamanan yang semu.”

Konsep Gereja sebagai rumah sakit lapangan adalah metafora kuat yang dipakai Paus Fransiskus untuk menggambarkan Gereja yang inklusif, responsif, dan solutif terhadap luka-luka sosial yang terjadi di dalam Gereja sendiri maupun di masyarakat luas. Sebagai rumah sakit lapangan, Gereja dituntut untuk menjadi penyembuh bagi yang sakit, penghibur bagi yang berduka, dan pembawa harapan bagi yang putus asa.

Warisan Gereja yang Kaya

Dalam awal paparannya, Rm. Purwanto mengingatkan bahwa Gereja Katolik Indonesia sangat kokoh dan memiliki banyak warisan, tetapi sekaligus juga harus berhadapan dengan globalisasi dan ketidakadilan struktural. Situasi Gereja saat ini bisa dilambangkan sebagai sebuah bahtera yang besar dan sarat muatan, yang berlayar di tengah arus ganda.

Gereja memiliki banyak pilar karya misi, namun di lapangan situasi dan kenyataannya sering kali berbeda. Karya pendidikan, karya sosial karitatif, dan pemberdayaan sosial ekonomi menjadi pilar misi yang lestari sekaligus kekuatan bagi Gereja.

Demikian juga warisan nonfisik dan spiritual dalam iman dan praktik religius, inkulturasi di bidang liturgi dan katekese, semuanya menjadi kekuatan bagi Gereja. Ditambah dengan kehidupan pastoral partisipatif di mana peran awam perempuan mencapai lebih dari 60%. Selain itu, gerakan komunitas basis gerejawi mampu membarui banyak hal.

Pergumulan di Dalam Gereja dan di Tengah Dunia

Meskipun demikian, Gereja Katolik Indonesia saat ini menghadapi sejumlah pergumulan di dalam dirinya maupun di tengah dunia. Di dalam tubuhnya, Gereja dihadapkan pada menurunnya kualitas iman umat karena terdapat sinkretisme, OMK yang rentan terhadap budaya destruktif dan kecenderungan egosentris, serta tumbuhnya kembali feodalisme.

Sementara itu, di tengah pergumulannya di dunia, Gereja menghadapi modernitas dan sekularisasi, kemerosotan moral, ketimpangan sosial-ekonomi, pluralisme yang rapuh, hingga krisis lingkungan dan degradasi ekologi.

Di tengah kompleksitas itu, Gereja diharapkan tetap menjadi komunitas pengharapan yang mewujudkan misi profetis demi keadilan dan martabat manusia. Maka, “fokus pastoral diarahkan pada penguatan iman umat, peningkatan mutu imam dan religius, serta pendampingan keluarga sebagai basis hidup beriman,” tandasnya.

Peran Gereja: Dari Diagnosa hingga Penyembuhan

Mengutip teolog Tomáš Halík, Rm. Purwanto menggambarkan peran Gereja sebagai rumah sakit lapangan dalam tiga bentuk utama:

  1. Peran diagnostik – Gereja dipanggil untuk membaca tanda-tanda zaman, mengidentifikasi persoalan serta menemukan dan mengenali jenis “penyakit rohani” masyarakat, baik di dalam maupun di luar Gereja.
  2. Peran pencegahan – Gereja meningkatkan “imunitas rohani” umat dan membiarkan Roh Kudus memimpin karya Gereja sehingga dapat menghasilkan buah-buah kasih, sukacita, dan damai (Gal 5:22-23).
  3. Peran penyembuhan – Gereja menghadirkan wajah belas kasih Allah yang merawat, mengobati, memulihkan, dan memperdamaikan, dengan semangat sukacita Injil yang hidup dan menghidupkan.

“Seperti dokter yang mendekati pasiennya, Gereja dipanggil untuk tidak menjauhi luka-luka dunia, tetapi menyentuhnya dengan kasih,” tegasnya.

Selain itu, Gereja juga diundang untuk memperluas advokasi sosial dan bela rasa, pemberdayaan ekonomi umat, serta memperkuat dialog lintas agama dan kolaborasi lintas sektor. “Belas kasih harus menjadi wajah misi kita,” ujar Rm. Purwanto. “Gereja yang tidak berbelas kasih akan kehilangan jantung misinya.”

Misi Ekologi dan Solidaritas Sosial

Menanggapi krisis ekologi dan ancaman terhadap kehidupan manusia, Rm. Purwanto menegaskan pentingnya misi ekologi integral. Dalam semangat Laudato Si’, Gereja harus menjadi pelopor kesadaran ekologis dan advokasi bagi bumi sebagai rumah kita bersama.

“Kerusakan lingkungan adalah luka dunia yang paling nyata hari ini,” katanya. “Maka, Gereja sebagai rumah sakit lapangan mesti menjadi agen penyembuh, bukan sekadar pengamat.”

Misi sosial-ekonomi juga menjadi prioritas, termasuk pemberdayaan masyarakat miskin, dukungan terhadap kaum rentan, dan pengembangan solidaritas lintas wilayah serta generasi.

Tantangan Spiritual di Zaman Digital

Berhadapan dengan tantangan dunia digital, Rm. Purwanto menyinggung dua bentuk “penyakit rohani” yang mencerminkan krisis iman zaman modern, yakni gnostisisme baru dan semipelagianisme.

Gnostisisme baru, katanya, mendorong orang untuk menjauh dari kedagingan dan penderitaan sesama, menciptakan spiritualitas yang terlepas dari realitas. Sementara semipelagianisme muncul dalam sikap iman yang mengandalkan kekuatan diri dan merasa cukup tanpa rahmat Kristus.

“Kedua hal ini adalah bentuk korupsi iman,” tegasnya. “Gereja harus menolak kenyamanan doktrinal yang membuat kita abai pada penderitaan konkret manusia.”

Menuju Gereja yang Sinodal dan Berbelas Kasih

Di bagian akhir, Rm. Purwanto menyatakan bahwa misi Gereja masa depan hanya dapat dijalankan dengan pertobatan pastoral dan sinodalitas. Gereja yang sejati bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga ruang penyembuhan — tempat setiap orang dapat diterima, dipulihkan, dan diutus kembali untuk menjadi saksi kasih Kristus.

“Rumah sakit lapangan tidak menanyakan dari mana kamu datang,” ujarnya. “Ia hanya melihat lukamu dan berusaha menyembuhkannya. Demikianlah Gereja harus hadir — dengan hati yang terbuka, penuh empati, dan siap melayani.”

SAGKI 2025: Gereja yang Menyembuhkan dan Menghidupkan

Melalui refleksi SAGKI 2025, Gereja Katolik Indonesia menegaskan panggilannya untuk menjadi Gereja yang misioner dan berpengharapan, sekaligus Gereja yang menyembuhkan luka bangsa dengan mengedepankan belas kasih dan kedekatan, preferensial nyata bagi kaum marjinal, serta mengatasi krisis ekologis integral.

Dalam dunia yang semakin cair dan virtual, Gereja diharapkan tetap setia pada misinya untuk menghadirkan wajah Kristus yang penuh kasih dan pengampunan bagi semua orang.

“Rumah sakit lapangan bukan sekadar metafora,” pungkas Rm. Purwanto. “Itu adalah panggilan Gereja kita hari ini — untuk berjalan bersama, menyentuh luka dunia, dan menyalakan kembali harapan yang nyaris padam.”

**Harini B

Freelance, Contributor for Dokpen KWI

Foto: Tim Pubdok SAGKI 2025

Direpost ulang dari: https://www.mirifica.net

Leave a Reply

Your email address will not be published.