Dalam rangka peringatan Hari Orang Muda Sedunia (HOMS) ke-40, Komisi Kepemudaan bekerja sama dengan Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menggelar kegiatan Temu Misionaris Digital dan Influencer Katolik Indonesia yang diselenggarakan di Gedung KWI, Jakarta pada tanggal 22–23 November 2025.
Kegiatan yang mengusung tema From Followers To Witnesses ini diikuti 79 peserta yang hadir dari berbagai keuskupan dan komunitas digital Indonesia. Tema ini terinspirasi dari Yohanes 15:27: “Kamu adalah saksiKu, karena kamu sejak semula bersama dengan Aku.” Tema ini menegaskan bahwa kehadiran di dunia digital bukan pertama-tama mencari pengikut, tetapi menghadirkan kesaksian iman. Perjumpaan ini semakin terasa istimewa dengan hadirnya lima religius perwakilan dari Kongregasi CB, PMY, SJ, MSF, dan SCJ, serta Romo Luca bersama rombongan Panitia Lokal World Youth Day 2027 dari Seoul, Korea Selatan.

Identitas Pewarta Digital: Sense of Christ dan Sense of Crisis
Perjumpaan ini dibuka dengan pengantar yang disampaikan Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan KWI, Romo Frans Kristi Adi Prasetya. Dalam arahannya, Romo Kristiadi menekankan bahwa seorang pewarta digital harus berangkat dari dua kesadaran fundamental, yaitu Sense of Christ – relasi personal dan persahabatan mendalam dengan Kristus sebagai sumber inspirasi pewartaan; dan Sense of Crisis – kepekaan terhadap pergulatan hidup dunia, terutama orang muda, sehingga pewartaan mampu menyentuh realitas kemanusiaan. “Kedua kesadaran ini menjadi bingkai spiritual dan pastoral seluruh rangkaian kegiatan”, jelas Romo Kristiadi.
Materi utama disampaikan oleh Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Purwokerto, Romo Dominikus Danang AW dengan tema Spiritualitas Pewarta Digital: Dari Followers Menuju Witnesses. Dalam paparannya Romo Danang memantik refleksi dengan pertanyaan kritis, “Apakah setiap influencer atau konten kreator Katolik otomatis menjadi pewarta dan misionaris digital?”
Ia menegaskan tiga ciri identitas pewarta digital, yaitu menghadirkan wajah Kristus, menyampaikan nilai-nilai Injil, dan berpartisipasi dalam dialog. Lebih lanjut, imam diosesan Keuskupan Purwokerto ini juga menegaskan perbedaan mendasar antara konten kreator biasa dan pewarta Injil
| Konten Kreator Biasa | Pewarta Injil/Misionaris Digital |
| Self-Marketing | Kenosis – Pengosongan diri |
| Mengejar Followers | Kesaksian Iman |
| Metrik Algoritma | Kesetiaan pada Injil |
| Monetisasi & Prestise | Kasih Tuhan sebagai Motivasi |
Ia menutup pemaparannya dengan menegaskan enam pilar konten Injili, yaitu Misteri Paskah, Liturgi, Kitab Suci, Komunitas (online menjadi on-life), Pengalaman personal, dan Inisiasi berkelanjutan.
Sesi sharing kelompok menggunakan metode tiga putaran, sebagaimana dipakai dalam SAGKI, untuk memperdalam refleksi dan saling memperkaya. Pada sore dan malam hari, peserta mengikuti KAJ FAIR di kompleks Sekolah Santa Maria Juanda yang dikelola para Suster Ursulin (OSU).

Belajar dari Praktisi dan Komitmen Tindak Lanjut
Momen istimewa ini dirangkai dengan perjumpaan bersama tiga konten kreator Katolik, yaitu Evelyn Hutani, Sisca Saras, dan Sr. Rita AK. Di hadapan peserta mereka berbagi inspirasi tentang perjalanan iman dalam dunia entertainment dan media digital. Mereka menekankan pentingnya integritas, keotentikan, dan keberanian bersaksi melalui kreativitas.
Acara ditutup dengan penyusunan Rencana Tindak Lanjut (RTL), baik secara pribadi maupun bersama, agar semangat yang diperoleh tidak berhenti pada kegiatan, tetapi diwujudkan dalam karya nyata pewartaan Kristiani di dunia digital.

Laporan Rm. Antonius Edi Praseyo SCJ dari Jakarta
