Simboknya Semua Orang Kini Telah Berpulang

Senin (15/4) lalu, kediaman Mgr. Yohanes Harun Yuwono di Desa Totoharjo, Way Ratai, Lampung, dipenuhi oleh karangan bunga dukacita. Sang ibu, Maria Napsiah berpulang pada hari Minggu (14/4) pukul 00.10 WIB. Misa Requiem dipimpin oleh Uskup Harun. Selain umat dari Keuskupan Tanjung Karang, sejumlah imam, biarawan-biarawati, dan umat dari Keuskupan Agung Palembang juga tampak hadir melayat.

Bapak uskup membagikan sedikit kisah tentang keluarganya. Beberapa tahun silam, beliau bersama adiknya, Nuryadi, mencari sang paman (adik ibunya) di Jakarta. Setibanya di sana, mereka bertanya pada warga apakah mengenal paman mereka. Banyak orang tidak kenal pamannya. Singkat cerita, akhirnya bapak uskup dan adiknya berhasil menemukan sang paman.

Mgr Yohanes Harun memimpin Misa Requiem untuk Ibu Napsiah didampingi Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmaja dan Mgr. Aloysius Sudarso SCJ serta para imam | Foto: Komsos KAPal

“Kalau kamu tanya nama saya pada orang-orang, mereka tidak akan kenal saya. Tapi kalau kamu tanya nama anak saya, orang-orang pasti tahu,” kata bapak uskup menirukan perkataan pamannya saat itu.

Sama seperti pengalaman kita tentang Allah. Bapak uskup mengatakan bahwa kita tidak mengenal Allah kecuali mengenal anak-Nya, Yesus.

Lewat paskah, Yesus tidak dikalahkan oleh maut. Yesus disalib untuk menebus dosa manusia, untuk menyelamatkan manusia. Karena ditebus oleh Kristus, manusia akan bersama dengan Kristus hingga kehidupan kekal.

“Kita tidak akan nyasar karena kita berjalan di dalam Dia. Karena kita mengikuti Dia, kita tidak akan mati sia-sia, tapi akan hidup,” kata bapak uskup.

Ibu Napsiah merupakan satu-satunya orang Katolik dalam keluarganya. Ia adalah seorang pekerja keras dan sangat beriman.

“Saya masih ingat saat saya belum sekolah, kami tidur bersama. Beliau senang memberi cerita tentang orang kudus. Suatu hari beliau memberi cerita mengenai Ekaristi, mengenai Misa. Saya bertanya, ‘Romo itu kok datang ke sini mengatakan roti ini tubuh-Ku, anggur ini darah-Ku?’ Ibu saya mengatakan bahwa itu Tubuh dan Darah Tuhan. Masa iya? Hebat sekali romo itu. Ibu saya mengatakan, ‘untuk orang yang percaya kita mengimani itu. Di banyak tempat, orang yang mempermainkan hosti yang sudah dikuduskan, roti itu akan menjadi daging betulan, anggur itu menjadi darah betulan.’ Saya antara percaya dan tidak. Apa iya? Tapi saya kira beliau memang mengimani itu,” kenang bapak uskup.

Dari dulu sampai sekarang, di keluarga bapak uskup ada orang asing yang menjadi bagian dari keluarganya.

“Simbok kami adalah simbok semua orang. Jika ada orang yang berada dalam kesusahan, pasti akan ditunggui sampai sehat. Mungkin itulah yang diimani, mencontoh Tuhan yang memberikan diri seutuhnya untuk orang lain. Saat masuk seminari, saya takut tidak mendapat restu ibu. Jadi saya buat surat rekomendasi sendiri, saya palsukan tanda tangan ibu saya. Saat itu, bapak saya sudah meninggal, maka saya minta rekomendasi dari ketua stasi tetangga,” kisahnya.

“Simbok, maturnuwun (terima kasih) untuk segala hidupmu. Selamat jalan. Semoga Bunda Maria menghantarmu sampai pada Allah yang kau imani,” bapa uskup menutup homilinya.

Ibu Maria Napsiah lahir di Saren, Yogyakarta, 10 November 1942.

** Maria Sylvista

One thought on “Simboknya Semua Orang Kini Telah Berpulang

Leave a Reply

Your email address will not be published.