- Latar Belakang
Sejarah berdirinya Seminari Menengah Santo Paulus Palembang memiliki proses berliku dan berkaitan erat dengan pertumbuhan iman Katolik dan pelayanan pastoral di wilayah Sumatera bagian Selatan (Sumbagsel). Proses itu berawal dari daerah Tanjung Sakti di lereng Bukit Barisan di antara Suku Pasemah, Karesidenan Bengkulu. Di daerah yang berada di wilayah pastoral Vikariat Apostolik Batavia ini misionaris Serikat Yesus (SJ) yaitu Pastor Joan van Meurs SJ mulai berkarya sejak tahun 1887.
Pada 30 Juli 1911, Vatikan resmi mendirikan Prefektur Apostolik Sumatera yang berpusat di Padang dan memisahkannya dari Vikariat Apostolik Batavia serta menyerahkan pelayanan pastoral kepada Ordo Saudara Dina Kapusin (OFMCap). Prefektur Apostolik adalah wilayah gereja dengan umat Katolik relatif baru mulai berkembang dan dipimpin oleh seorang imam yang tidak ditahbiskan sebagai uskup, tetapi memiliki wewenang seperti seorang uskup yang disebut Prefek Apostolik. Mgr. Liberatus Cluts OFMCap menjadi Prefek Apostolik Sumatera pertama.
Sejak saat itu karya pelayanan misi yang telah dirintis oleh misionaris SJ kemudian dilanjutkan oleh para imam OFMCap. Pastor Sigebertus OFMCap dibantu oleh J.C. Kielstra seorang awam dan para suster Kongregasi Suster Cinta Kasih Bunda Maria yang Berbelaskasih (SCMM) dari Tilburg, Belanda yang hadir ke Padang ikut melayani umat di Tanjung Sakti mulai tahun 1917 sampai dengan awal tahun 1930. Para suster berkarya di bidang pendidikan dan asrama.
Pada 27 Desember 1923, Tahta Suci Vatikan mengeluarkan breve tentang pemekaran Sumatera menjadi beberapa prefektur apostolik, yaitu Prefektur Apostolik Bengkulu, Prefektur Apostolik Bangka-Belitung, dan Prefektur Apostolik Padang. Demi pelayanan umat yang semakin baik, maka Vatikan mempercayakan pelayanan Prefektur Apostolik Padang kepada OFMCap, Prefektur Apostolik Bangka-Belitung kepada Kongregasi SSCC, dan Prefektur Apostolik Bengkulu meliputi wilayah Bengkulu, Lampung, Palembang, dan Jambi diserahkan kepada Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus (SCJ).
Pada 23 September 1924, tiga orang misionaris SCJ tiba di Tanjung Sakti, mereka adalah Pastor Henricus van Oort SCJ, Pastor Carolus van Stekelenburg SCJ, dan Br. Felix van Langenberg SCJ. Pastor Henricus Smeets SCJ ditunjuk menjadi Prefek Apostolik Bengkulu pertama, ia tiba di Tanjung Sakti pada September 1925. Jejak misionaris perintis ini diikuti oleh kehadiran anggota SCJ lainnya, seperti Pastor Isidorus Gabriel Mikkers SCJ dan Pastor Matthaeus Gerlachus Neilen SCJ yang tiba pada Mei 1925, Br. Andreas van der Veen SCJ, dan Pastor Albertus Hermelink SCJ pada tahun 1926, serta Pastor Henricus Mekkelholt SCJ pada tahun 1927.
Para misionaris yang datang memulai misi dengan memberikan pewartaan iman Katolik dan pelayanan sakramental bagi umat. Mereka juga mengundang sejumlah tarekat seperti Kongregasi Suster St. Fransiskus Charitas (FCh), Kongregasi Suster Belaskasih dari Hati Yesus yang Mahakudus (HK), Kongregasi Suster Fransiskanes dari St. Georgius Martir (FSGM), Kongregasi Suster Cinta Kasih St. Carolus Boromeus (CB), dan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (BHK) untuk mendukung karya pelayanan di bidang pendidikan (sekolah dan asrama) dan bidang kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, dan pelayanan kesehatan keliling).
Dari Tanjung Sakti, Pastor van Oort SCJ berkeliling ke sejumlah tempat, salah satunya adalah Palembang. Saat itu Palembang merupakan kota yang penting, menjadi pusat pemerintahan Karesidenan Palembang dan menjadi salah satu pusat perekonomian yang ramai. Pada tahun 1925 ia membuka pos misi baru di Palembang dan memutuskan untuk memindahkan pusat prefektur apostolik ke kota ini, meski masih tetap menggunakan nama Prefektur Apostolik Bengkulu.
Di Palembang karya misi dan pelayanan pastoral dimulai dari sebuah rumah tua berbentuk rumah kayu di Talang Jawa yang dibeli sebelumnya oleh Pastor Matthias Brans OFMCap. Bangunan ini kemudian direhab, ruang depan menjadi gereja dan bagian belakang menjadi kamar-kamar pastoran. Pastor Neilen SCJ membuka sekolah di teras pastoran. Selain itu, Pastor van Oort SCJ juga membeli rumah sakit yang nyaris bangkrut dan menyerahkan pengelolaannya kepada para suster FCh yang datang dari Roosendal, Belanda.
Setelah misi di Palembang berkembang, para misionaris pun meneruskan misi berikutnya ke wilayah Lampung dengan memanfaatkan jalur transportasi kereta api dan kapal. Tempat yang dituju adalah Teluk Betung dan Tanjungkarang di Bandar Lampung. Pastor van Oort SCJ telah memperoleh banyak informasi tentang Lampung dari laporan yang dibuat oleh para imam Kapusin. Pastor Neilen SCJ diutus untuk memulai persiapan pembukaan pos misi yang baru Lampung.
Pada 18 April 1926 ia berangkat dari Palembang menuju Teluk Betung dengan menempuh perjalanan naik kapal KPM menyusuri Sungai Musi, perairan pantai timur Sumatera dan Sungai Tulang Bawang lalu berlabuh di Menggala. Dari Menggala ia melanjutkan perjalanan sejauh 120 km menggunakan mobil menuju Teluk Betung. Di sana misi pelayanan dimulai, ia merayakan Ekaristi di Teluk Betung dan Tanjungkarang, mengajar Katekismus di sekolah-sekolah dan menerimakan Komuni Pertama. Pada awal pelayanan itu, umat yang dilayani sebagian besar adalah orang Eropa yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda dan pegawai perkebunan. Inilah komunitas perdana umat Katolik di Lampung.
Pada tahun yang sama, Pastor van Oort SCJ datang mengunjungi Lampung. Ia membeli sebidang tanah di sekitar pasar Tanjungkarang yang letaknya dekat stasiun kereta api. Di tanah yang baru dibeli itu ia mulai membangun sebuah gereja. Selaku penanggungjawab misi ia pun sering datang mengunjungi Lampung untuk menangani aneka urusan prefektur, melayani umat, dan memantau proses pembangunan gereja. Gereja yang baru itu selesai dibangun pada 16 Desember 1928 kemudian diberkati oleh Pastor van Oort SCJ dan diberi nama Gereja Kristus Raja (Christus Koning). Sejak saat itu ia pun mulai menetap di sana dan Tanjungkarang resmi menjadi pos misi baru di Prefektur Apostolik Bengkulu. Dari Tanjungkarang misi pun terus berkembang ke banyak tempat di Lampung, seperti Pringsewu, Gisting, Metro, dan Sidomulyo. Pada Desember 1935, para misionaris pun membuka pos misi baru di Jambi dan terus berkembang ke daerah-daerah lainnya di wilayah Sumbagsel.
Pada 13 Juni 1939 Vatikan meningkatkan status Prefektur Apostolik Bengkulu menjadi vikariat apostolik, pusat misi pun dipindahkan ke Palembang dan menjadi Vikariat Apostolik Palembang. Vikariat Apostolik adalah suatu wilayah gerejani dengan persekutuan umat yang belum mandiri, dipimpin oleh seorang uskup yang ditahbiskan oleh Paus dan sekaligus sebagai wakil Paus yang bergelar vikaris apostolik. Vatikan mengangkat Mgr. Henricus Mekkelholt SCJ menjadi Vikaris Apostolik Palembang yang pertama.
Ketika Vikariat yang baru berdiri ini mulai bersiap untuk berbenah Perang Dunia II terjadi dan berkecamuk antara tahun 1939-1945. Situasi ini diperparah dengan pendudukan Jepang di Indonesia yang memberi pukulan telak bagi karya misi. Banyak imam, biarawan, dan biarawati yang ditangkap, dipenjara dan disiksa di dalam kamp-kamp interniran yang terdapat di banyak tempat, di antaranya kamp Talang Semut dan kamp Puncak Sekuning Palembang, kamp Kepahiang Bengkulu, kamp Lebak Budi dan Durian Payung Lampung, kamp Belalau Lubuk Linggau dan kamp Muntok Bangka. Banyak misionaris akhirnya meninggal dengan cara yang tragis. Selama masa itu banyak gedung gereja dan bangunan misi ditutup atau dialihfungsikan oleh Jepang menjadi markas tentara dan gudang persenjataan.
Situasi itu berdampak juga bagi pelayanan umat. Ketiadaan gembala dan situasi ekonomi serta keamanan yang sulit membuat banyak umat akhirnya memilih meninggalkan imannya. Saat masa gelap itu datang, para tokoh awamlah yang kemudian tampil dengan segala keterbatasan dan kesulitannya menjadi sosok “penjaga”. Mereka merawat sumbu iman umat yang mulai terkulai dengan nyala yang redup dan nyaris padam. Meski pada akhirnya mereka juga mengalami kesedihan karena banyak di antara umat yang didampingi nyala imannya akhirnya sungguh padam, memilih pergi meninggalkan Yesus.
Setelah Perang Dunia II dan masa pendudukan Jepang berakhir, karya pelayanan pastoral di Vikariat Apostolik Palembang pun berangsur pulih kembali. Harapan untuk segera memulihkan karya pelayanan itu terkendala dengan kenyataan jumlah imam yang sangat terbatas. Selain karena banyak yang meninggal, para imam misionaris juga banyak yang kembali ke kampung halamannya karena alasan kesehatan dan tidak kembali lagi ke Indonesia. Kondisi ini menginspirasi dan memotivasi Mgr. Mekkelholt SCJ dan Pastor Joannes van der Sangen SCJ sebagai Superior Regio SCJ di Sumatera untuk membuka sebuah seminari yang diharapkan dapat melahirkan imam-imam lokal yang berasal dari daerah misi.
Di tengah beragam kesulitan yang dihadapi, karya misi tetap berjalan dan menjangkau semakin banyak tempat sehingga Gereja pun terus berkembang. Pada 3 Januari 1961, Paus Yohanes XXIII menerbitkan Dekrit Quod Christus Adorandus yang meresmikan berdirinya hirarki Gereja Katolik di Indonesia sebagai hirarki Gereja Katolik mandiri. Dalam Gereja Katolik hirarki merupakan tingkat-tingkat jabatan atau wewenang yang ada dalam pelayanan penggembalaan Gereja, yaitu Uskup, Imam, dan Diakon. Berdasarkan dekrit itu maka Vikariat Apostolik Palembang dan Tanjungkarang yang telah menjadi Prefektur Apostolik pada 19 Juni 1952 resmi menjadi keuskupan.
- Cikal Bakal Seminari
Di tengah berkecamuknya Perang Kemerdekaan, Pastor van der Sangen SCJ mengumpulkan beberapa pemuda untuk dididik di seminari. Para misionaris sadar bahwa masa depan wilayah gerejani yang dipimpinnya sangat tergantung pada para imam yang berasal dari daerah misi.
Pada tahun 1930, para imam SCJ sudah menyiapkan asrama anak laki-laki di pastoran Hati Kudus. Asrama ini menjadi Seminari Kecil (Klein-seminarie) Berchamanianum dan memiliki satu anak dididik, yaitu Antonius Gentiaras yang berasal dari Tanjung Sakti. Menurut rencana asrama ini akan dikembangkan menjadi sebuah seminari, namun hingga tahun 1942 rencana itu belum terealisasi.
Berdasarkan arsip Kongregasi SCJ di Palembang, saat itu SCJ sudah memiliki dan mengirim empat pemuda ke novisiat di Belanda. Keempat siswa itu adalah Antonius Gentiaras lulusan Seminari Petrus Canisius Muntilan sampai tingkat novis di Asten, filsafat dan teologi di Seminari SCJ di Liesboch; Yan Moningka; Aloysius Slamet Sapta Atmojo, dan Maximus Wignya Suhardjo lulusan Sekolah Guru Muntilan. Karena sakit, Gentiaras tidak melanjutkan pendidikan ke Seminari Tinggi di Nijmegen, ia dikirim kembali ke Indonesia hingga akhirnya meninggal pada 10 Januari 1939 dan dimakamkan di Muntilan.
Tahun 1933, Sapta Atmojo dan Wignya Suhardjo dikirim ke novisiat SCJ di Asten. Namun dalam proses pembinaan pada tanggal 2 Februari 1935 Sapta Atmojo dipanggil Tuhan, sedangkan Wignya Suhardjo akhirnya ditahbiskan menjadi imam pada 16 Juli 1939. Pastor Wignya Suhardjo menjalankan imamatnya selama 4 tahun, ia meninggal di Nijmegen pada tanggal 27 November 1943.
Ide pendirian seminari dikemukakan oleh Pastor Johanes Padmasapoetra yang didukung oleh Mgr. Henricus Mekkelholt SCJ, Mgr. Albertus Hermelink SCJ, Pastor van der Sangen SCJ, Pastor Gerardus Elling SCJ yang dimulai di Pringsewu (Lampung) dan dimantapkan di Palembang (1949) bertujuan untuk mencukupi tenaga imam dan biarawan untuk melayani umat di wilayah Sumbagsel.
- Periode Palembang I
Pada tanggal 24 April 1947 didirikan Seminari Menengah Santo Paulus Palembang di Pastoran Hati Kudus Jln. Talang Jawa 4, Palembang. Tempat tersebut sekarang ini dikenal dengan nama Jln. Kolonel Atmo. Seminari itu berada di depan halaman sekolah Frater BHK (sekarang SD Xaverius 2). Empat siswa pertama seminari adalah Petrus Sabirin Darmo Saputro, Marcellinus Suratmo, Sunardi, dan Ramelan. Mereka telah menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Rakyat dan mulai menjalani proses pendidikan lanjut di SMP (MULO) Frater yang didampingi oleh para Frater BHK. Selain mendapat pendidikan formal, para seminaris juga menjalani pembinaan dari para imam SCJ. Selama di tempat ini makanan bagi para pembimbing dan seminaris disediakan oleh para suster yang berkarya di RS RK Charitas (sekarang Charitas Hospital Palembang).
- Periode Pringsewu dan Padang Bulan
Pada tahun 1947 seorang imam diosesan dari Vikariat Apostolik Semarang, yaitu Pastor Johannes Padmasepoetra merintis pendirian seminari di Pringsewu, Lampung. Hal itu merupakan tindak lanjut dari gagasan Pastor Wahyo Sudibyo OFM yang saat itu berkarya di Paroki Hati Kudus Yesus Metro. Pada 2 Februari 1948 seminari pun berdiri dan diberi nama Seminari Santo Yosef. Seminari ini berada di sekitar kompleks Gereja Pringsewu.
Siswa-siswa pertama Seminari Santo Yosef Pringsewu ialah A.M Badroen Effendhie, F.X Prandjono, St. Soedadi, Petrus Abdullah Hassan, Dionisius Urip, Lukas Wakidi, Petrus Suhadi (Pastor Petrus Abdi Putrarahardja SCJ), dan Andreas Suwijata (Mgr. Andreas Henrisoesanta SCJ). Mereka didampingi oleh Pastor Padmasepoetra, dua orang suster Denekamp (FSGM), dan tiga orang bapak guru.
Pada tahun 1949, terjadi Agresi Militer II dan tentara Belanda masuk kota Pringsewu. Demi keamanan, para seminaris dan pembimbing pun mengungsi ke Padang Bulan dan tinggal di rumah-rumah umat, antara lain rumah keluarga Karyo.
- Periode Palembang II
Pada tahun 1949, Mgr. Henricus Mekkelholt SCJ dan Pastor van der Sangen SCJ menganjurkan kepada Pastor Padmasepoetra agar proses pendampingan seminaris di Seminari St. Yosef disatukan dengan Seminari Menengah St. Paulus Palembang. Alasan utamanya adalah agar dalam satu vikariat apostolik hanya memiliki satu seminari saja sehingga pendampingan dapat lebih maksimal. Usul itu disetujui dan nama yang dipakai adalah Seminari Menengah St. Paulus.
Selanjutnya, lima seminaris dari Padang Bulan (ada tiga seminaris yang mengundurkan diri, yaitu St. Sudadi, Dionisius Urip, dan Lukas Wakidi) berangkat ke Palembang dengan menempuh rute yang panjang. Mereka naik mobil tentara Belanda menuju ke Tanjungkarang, kemudian dengan pesawat Belanda ke Batavia (Jakarta), kemudian berlayar ke Palembang dan tiba pada 8 Juli 1949.
Bergabungnya seminaris dari Pringsewu bersama para seminaris di Palembang dan masuknya Anton Tan Hap Siu menandai babak baru seminari. Hadir sebagai pembina mereka antara lain, Pastor Joannes van der Sangen SCJ, Pastor Gerardus Elling SCJ, Pastor Petrus Middeldorp SCJ, Mr. Lap, dan Fr. Monfort BHK serta beberapa orang guru dari SMP Frater.
- Periode Lahat
Pada tahun 1950 ada 10 orang seminaris yang menjalani proses pembinaan. Saat itu Vikariat Apostolik Palembang belum memiliki bangunan permanen untuk seminari. Kondisi menjadi sulit karena para seminaris hampir menyelesaikan jenjang pendidikan SMP dan harus mengikuti ujian agar memperoleh ijazah padahal SMP Frater belum memperoleh ijin untuk menyelenggarakan ujian kelulusan secara mandiri.
Pastor van der Sangen SCJ kemudian berinisiatif memindahkan para seminaris ke Lahat, karena di sana ada MULO milik suster CB (Lief de Zusters Carolus Barromeus) yang telah diakui pemerintah. Selain karena kesulitan dalam bidang pendidikan perpindahan ke Lahat juga diwarnai oleh alasan politis. Di Lahat, Belanda mempunyai sebuah asrama militer (KNIL), yang hanya mau diserahkan kepada Indonesia bila dipakai untuk kepentingan gereja. Maka setelah liburan, para seminaris naik kereta api menuju Lahat dan menempati asrama yang terletak di Jalan Gumai di depan Rumah Sakit Umum Lahat. Saat berada di Lahat, jumlah seminaris bertambah 2 orang.
Pada tanggal 21 Agustus 1950 mereka diterima di kelas III dan mulai mengikuti pendidikan formal di SMP Santo Yosef Lahat yang dikelola oleh para suster CB. Selain mendapat pendidikan formal, pada sore hari para seminaris juga mendapat pelajaran khusus, yaitu Agama, Bahasa Latin, dan Sejarah Gereja. Mereka mengikuti ujian akhir pada 24-29 Mei 1951.
Jasa para suster CB terhadap pendampingan seminaris sangat besar. Selain memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka juga memberi bantuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Pada periode ini ada empat orang suster yang ikut mengajar seminaris, yaitu Sr. Gueldelif CB, Sr. Charoline CB, Sr. Temote CB, dan Sr. Leonardi CB.
- Periode Palembang III
- Seminari di Frateran Bunda Hati Kudus (BHK)
Setelah menyelesaikan ujian akhir di Lahat, pada 20 Juni 1951 seminaris menjalani masa liburan. Pada bulan Agustus para seminaris kembali ke Palembang untuk melanjutkan pembinaan. Setibanya di Palembang mereka tidak kembali Pastoran Hati Kudus Talang Jawa, melainkan ke Frateran BHK, yang berada di samping Gereja Santo Yoseph. Para seminaris tinggal di bagian belakang bangunan biara BHK. Alasan kepindahan itu adalah untuk mempermudah pengaturan konsumsi sehari-hari para pendamping dan seminaris oleh pihak RS Charitas.
- Seminari di Kompleks RS RK Charitas
Keberadaan seminaris di biara BHK tidak berlangsung lama, mereka segera pindah menempati setengah dari rumah dr. Bruno di kompleks RS RK Charitas. Pendidikan formal untuk para seminaris yang masih duduk di SMP dilaksanakan di Talang Jawa, dan yang lain belajar dan menjalani pembinaan di rumah. Pada sore hari mereka mendapat pelajaran tambahan, yaitu Bahasa Latin, Sejarah Gereja, dan Agama. Pada tahap ini seminaris didampingi oleh Pastor van der Sangen SCJ, dibantu oleh Pastor Middeldorp SCJ, Mgr. Mekkelholt SCJ, dan Pastor Maria J. Weusten SCJ.
- Seminari di Jln. Bangau No. 60
Pada 7 Mei 1951 Mgr. Mekkelholt SCJ membeli sebidang tanah tanah milik Bapak Hukman di Jln. Bangau No. 60 Palembang dan kemudian mulai membangun gedung seminari yang berdampingan dengan bangunan SMA Xaverius 1 yang telah lebih dulu dibangun pada tahun 1952. Pembangunan ini didukung oleh Suwardi (anggota DPR Sumbagsel), Bapak Hukman, dan Bapak RI. Soediropranoto (Ketua Yayasan Xaverius Pusat). Kompleks bangunan seminari yang telah selesai dibangun kemudian diberkati dan diresmikan oleh Mgr. Mekkelholt SCJ pada 15 Mei 1953.
Selanjutnya pada 24 Juni 1954, Pastor Johannes van Beek SCJ diangkat menjadi rektor menggantikan Pastor van der Sangen SCJ. Sebagai rektor pertama di kompleks yang baru, ia didampingi oleh Pastor M.J Weusten SCJ, Pastor Joseph H. Soudant SCJ, Pastor P.J Boonen SCJ dan Pastor Middeldorp SCJ. Sejak saat itu pembinaan para seminaris berlangsung di tempat ini hingga sekarang.
Letak seminari yang berdampingan dengan SMA Xaverius 1, memungkinkan terjadinya kerja sama dalam pendampingan seminaris, yang dikenal dengan manajemen dwi kelola, yaitu oleh guru seminari dan guru SMA Xaverius 1. Demikian pula kebutuhan konsumsi dipenuhi sendiri, tidak lagi dibantu oleh RS RK Charitas.
Sejak bulan Juli 1994 warna pembinaan seminaris juga diperkaya dengan kehadiran para suster FSGM yang diawali oleh Sr. M. Lusia FSGM dan Sr. M. Joanni FSGM. Kehadiran para suster dalam pembinaan diharapkan dapat memberi sentuhan seorang ‘ibu’ sehingga menghadirkan suasana khas yang dapat membantu perkembangan seminaris dalam perjalanan panggilannya menjadi seorang imam. Salah satu pemrakarsa kehadiran para suster FSGM dalam pembinaan di seminari ini adalah Mgr. Aloysius Sudarso SCJ, yang saat itu menjadi Superior Provinsial SCJ Indonesia. Pada periode yang sama, diawali oleh RD. F.X Edi Prasetya, imam diosesan Keuskupan Agung Palembang pun juga mulai turut ambil bagian dalam pembinaan para seminaris bersama Kongregasi SCJ dan Kongregasi FSGM.
- Nama Pelindung: Santo Paulus
Nama Santo Paulus dipakai sebagai nama diri dan pelindung seminari sejak berdiri pada 24 April 1947. Santo Paulus dipilih sebagai pelindung seminari dengan harapan agar seluruh komunitas seminari dapat meneladani hidup, pelayanan dan pewartaannya yang diwarnai dengan pertobatan, pembaruan diri, pengorbanan, keteguhan iman, kesalehan, ketekunan, dan semangat perutusan dalam mewartakan Injil ke seluruh dunia.
Mengingat bahwa Pesta Pertobatan Santo Paulus yang jatuh pada tanggal 25 Januari, maka tidaklah mungkin merayakan hari kelahiran seminari ini serempak dengan pesta nama pelindungnya.
- Lambang/Logo Seminari
- Gambar Lambang/Logo

- Arti Lambang/Logo
Garis Lingkaran: melambangkan dunia atau komunitas Seminari Menengah Santo Paulus.
Buku terbuka dengan halaman bersih dan setangkai pena: melambangkan dunia pendidikan, salah satu bekal untuk mencapai panggilan Allah.
Dua belas garis yang terpancar dari salib, sebagai kerangka yang memenuhi lingkaran: melambangkan kedua belas rasul sebagai kerangka komunitas Seminari.
Salib: Salib Yesus Kristus, tempat ia mengorbankan diri, dan sarana keselamatan dunia, serta fondasi Seminari.
Nyala obor: melambangkan kasih Hati Kudus Yesus yang menyala-nyala sebagai terang Yesus yang menyinari dan membakar hati setiap anggota komunitas Seminari.
Delapan buah lidah api berbentuk ujung mahkota bunga yang terpancar ke segala arah: melambangkan delapan Sabda Bahagia Tuhan Yesus yang harus menjiwai setiap anggota komunitas Seminari dalam mewartakan Kerajaan Allah.
- Arti Warna
Warna Kuning: merupakan warna kepausan, melambangkan loyalitas kepada Paus.
Warna Merah: melambangkan keberanian dan semangat kemartiran.
Warna Putih: melambangkan kesucian jiwa, kejernihan nalar, kehendak, dan perasaan.
- Logo Kebidelan

Logo ini didesain oleh Pastor Petrus Haryanto SCJ dan mulai digunakan pada Tahun Ajaran 2022/2023.
- Logo Paduan Suara

Logo ini didesain oleh Muhamad Husein, desainer Cantica Sacra Indonesia Paguyuban Gembala Utama (PGU). Mulai digunakan secara resmi dalam Konser Per Aspera Ad Astra Saint Paul Choir pada Sabtu, 7 Juni 2025 di Palembang dan pada Konser Cantica Sacra (Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematangsiantar, Seminari Menengah St. Paulus Palembang, dan Seminari Menengah Wacana Bakti Jakarta) pada Senin, 23 Juni 2025 di Auditorium RRI Jakarta.
(Sumber: Buku Pedoman Formatio Seminari Menengah St. Paulus, 2025)
