Rapat Anggota Tahunan SIGNIS Indonesia Ke-48: Berjalan Bersama Menuju Kemandirian

Para penari bersama beberapa anggota SIGNIS Indonesia dalam pembukaan Rapat Anggota Tahunan SIGNIS Indonesia ke-48

Anjongan, Mempawah, Kalimantan Barat – Mengusung tema Berjalan Bersama Menuju Kemandirian, SIGNIS Indonesia memulai Rapat Anggota Tahunan ke-48 pada Selasa (31/5). SIGNIS merupakan satu-satunya asosiasi media Katolik yang diakui oleh Takhta Suci Vatikan. Di tingkat nasional, SIGNIS Indonesia memiliki 33 anggota.

Akreditasi, semacam presensi anggota, mengawali kelayakan pengadaan Rapat Anggota Tahunan SIGNIS Indonesia. Kali ini, sebanyak 22 anggota yang terdiri dari Komisi Komunikasi Sosial (KOMSOS), Radio, dan Anggota Perseorangan hadir. Ada juga 8 anggota yang diwakilkan oleh surat kuasa dan proxy. Tiga anggota tidak hadir tanpa keterangan. Beberapa observer juga hadir dalam rapat kali ini.

Presiden SIGNIS Indonesia, RD Antonius Gregorius Lalu, memaparkan alasan diusungnya tema Berjalan Bersama Menuju Kemandirian. “Berjalan bersama adalah tema Sinode Universal. Mengapa kemandirian? Karena bertahun-tahun di KOMSOS dan di tempat lain, hampir semua mengeluh dengan perkembangan finansial. Kita harus selalu memulai dari nol, bahkan negatif(saldo asset minus saat memulai karya),” tutur imam yang akrab disapa Romo Steven ini.

Romo Steven berharap agar semua anggota SIGNIS bisa memiliki mindset (pola pikir) yang lebih baik tentang finansial untuk membiayai aneka karya pelayanan Gereja. “Jadi cari duit untuk karya, bukan cari duit untuk kaya,” katanya.

Kiri ke Kanan – Uskup Agung Mgr. Agustinus Agus, Uskup Agung Pontianak; RD Antonius Gregorius Lalu, President SIGNIS Indonesia; Ibu Bernadetta Widiandajani, sekretaris SIGNIS Asia.

Mandiri secara finansial dan sumber daya manusia maupun alat menjadi penting saat berbicara soal karya yang berkelanjutan. Ibu Bernadetta Widiandajani, sekretaris SIGNIS Asia, memberikan beberapa tips bagaimana finansial dan sumber-sumber daya lain dapat diolah dengan baik.

Management improvement harus diperhatikan kalau mau survive. Upaya menjawab antara pandemi (Covid-19) dan digital. Pandemi harus disyukuri karena dunia berkembang dan ini harus kita teruskan ke depannya,” kata Ibu Widi.

Karya, baik jasa maupun produk, harus dikelola dengan baik. Tidak selamanya anggota SIGNIS Indonesia hidup dengan ‘bantuan dana’ dari keuskupan, Propaganda Fide, maupun institusi lain. Anggota harus berani memikirkan cara untuk mendanai diri sendiri dengan mengandalkan local resources. Jasa, produk, maupun gabungan keduanya harus diolah secara profesional dan dilihat impact-nya. Misalnya, feedback netizen terhadap konten yang dibuat di suatu media sosial. Ini dapat dijual. Lantas, jika sudah professional pengelolaannya, harus dipertimbangkan soal regulasi pemerintahan dan pajak penghasilan.

Selain itu, sumber daya manusia yang ada harus dijaga. Ibu Widi menyingkat kelima hal ini, “Appreciate, direction, wise, existence, dan loyal. Ibu jari berhubungan dengan apresiasi. Dengan telunjuk kita mengarahkan, juga harus bijaksana. Eksistensi, kehadiran kita harus menjadi sesuatu yang dirindukan, bukan sebaliknya. Juga harus loyal,” jelasnya.

Uskup Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus menceritakan pengalamannya. “Tantangan Gereja di mana-mana adalah kemandirian,” pungkasnya.

Harus Berani Berubah

Gereja seolah ‘terlena’ dengan kemapanan finansial, tatkala misionaris Belanda hadir di Gereja Bumi Pertiwi. Namun, Mgr. Agus meminta Gereja untuk berani berubah. Dia menyontohkan Rumah Retret Santo Johanes Paulus II, Anjongan, milik Keuskupan Pontianak.

“Seperti tempat ini (Rumah Retret Santo Johanes Paulus II), ruangannya bisa disewakan 3 juta,” katanya.

Saat soft opening, Uskup Agus, yang juga anggota Dewan Moneter Konferensi Waligereja Indonesia, mempromosikan tempat ini ke masyarakat. Dia ingin pengelolaan Rumah Retret Santo Johanes Paulus II dilakukan secara professional. Manajemen yang baik akan menjadikan sustainability atau keberlangsungan hidup suatu usaha yang baik pula.

“Kalau kita buat sesuatu, jangan sama-sama saja. Kalau buat sesuatu harus mampu bersaing. Kalau orang (banyak) buat warung bakso, apa bedanya warung bakso (kita),” kata Mgr. Agus.

**

Kristiana Rinawati

Leave a Reply

Your email address will not be published.