
Penghujung tahun 2021 lalu, Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa ini mulai menunjukkan aktivitas erupsinya, dengan memuntahkan Awan Panas Guguran (APG). Tanggap situasi ini, Tim Solidaritas Kemanusiaan Keuskupan Malang (TSKKM) bersama Karina (Caritas Indonesia), yang merupakan lembaga sosial kemanusiaan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), melayani 200 keluarga yang memilih tetap tinggal di jalur erupsi Gunung Semeru.
“Mereka tidak mau dievakuasi, padahal itu jalur yang sangat berbahaya. Pemerintah juga kebingungan, karena sebetulnya mereka harus dievakuasi, tetapi mereka bersikuku tidak mau. Maka Caritas Malang (TSKKM) dan Karina bersedia untuk mendampingi mereka ini, yang masih di sana, tapi suatu saat kan bisa saja ada lahar yang mengalir, kalau Semeru batuk lagi,” kata Mgr. Aloysius Sudarso SCJ, Ketua Badan Pengurus Karina.

Pelayanan TSKKM dan Karina Terhadap 200 Keluarga
TSKKM dan Karina melakukan beberapa pelayanan. Pertama, mempersiapkan solusi jika Gunung Semeru aktif kembali. Penduduk dibagi dalam kelompok-kelompok dan membuat prioritas, siapa yang utama diselamatkan.
“Dalam kelompok-kelompok itu, mereka minta orang tua, yang sakit dulu (yang dievakuasi jika ada aktivitas berbahaya Gunung Semeru),” jelas Mgr. Sudarso, yang juga uskup emeritus Keuskupan Agung Palembang. Selanjutnya jalan-jalan dan petunjuk arah sudah dibuat dan masyarakat diberi edukasi.
Kedua, pelayanan dilakukan dengan memperbaiki mata-mata air yang sebelumnya digunakan masyarakat, untuk menunjang keberlangsungan hidup mereka. “Nah, mata-mata air ini sudah kena pasir, kena macam-macam itu. Maka dibersihkan untuk membantu mereka,” papar Mgr. Sudarso yang hadir dalam evaluasi dan pembelajaran pada pelaksanaan program kemanusiaan untuk masyarakat terdampak Awan Panas Guguran (APG) Gunung Semeru, Senin-Jumat, (28/3-1/4) April di Jawa Timur.
Ketiga, bersama masyarakat sekitar, TSKKM dan Karina menanam tanaman di sekeliling kaki Gunung Semeru. Keempat, mengadakan pelayanan psiko-sosial untuk anak-anak. “Karena anak-anak pada ketakutan, sering ada letusan-letusan. Nah, untuk seperti itu, Caritas setempat (TSKKM) mengundang tim yang mampu melatih untuk menari anak-anak, kemudian juga mengukir. Jadi mengisi waktu bukan dengan ceramah, tetapi praktik yang memuat kreativitas. Dan anak-anak sangat senang, orang tua apalagi. Lalu kita di sana juga bertemu dengan pemerintah setempat,” pungkasnya.

Alasan Mendasar Tidak Mau Dievakuasi
“Saya tanya kepada camat, pemerintah bagaimana? Pemerintah sebenarnya mau agar masyarakat dievakuasi, karena itu jalur yang sangat berbahaya, tapi melihat suburnya tanaman padi yang luar biasa begitu, saya mengerti bahwa mereka (para petani) tidak mau pergi, tapi risiko hidup,” kata Mgr. Sudarso SCJ.
Saat monitoring dan evaluasi kegiatan ini, pemerintah setempat ingin agar TSKKM masih standby di lokasi. Selama ini, TSKKM memiliki pos yang lokasinya berada dekat dengan pemukiman rawan. Mereka siap kapanpun dibutuhkan. Namun, mereka belum memiliki semacam rumah di lokasi itu.
“Kita belum bisa membuat rumah, karena kemungkinan tidak bisa membuat sesuatu yang stabil di situ, karena kalau ada curahan lagi, gempa, dan lain sebagainya, tidak mungkin. Harus pergi,” ujar Mgr. Sudarso.
Meski sudah di akhir program, Karina dan TSKKM masih terus bekerja, sembari memberikan laporan kepada para donatur Karina di dalam maupun di luar negeri.
“Sekarang kita masih terus bekerja, lalu Karina masih memikirkan bagaimana melanjutkan. Mereka harus diskusi dulu dengan Caritas setempat (TSKKM), apa yang bisa dilanjutkan sampai Juni harus diselesaikan, karena masih ada dana untuk membantu mereka,” pungkasnya.

Jika sampai Juni Gunung Semeru masih rawan, maka Mgr. Sudarso mengatakan bahwa Karina dan TSKKM masih harus membantu masyarakat.
Sebagai ketua badan pengurus Karina, Mgr. Sudarso melihat pentingnya Caritas keuskupan-keuskupan. Malang hanyalah salah satu contoh. Bahkan, dia memandang Caritas penting di Keuskupan Agung Palembang.
“Sebetulnya di Indonesia harus semakin banyak menciptakan yang namanya Caritas. Caritas yang siap untuk masalah-masalah yang tiba-tiba seperti ini. Maka harus melatih relawan-relawan di setiap keuskupan, kebetulan Palembang jarang ada masalah, tapi Bengkulu, keuskupan kita kan sering terjadi. Jadi harus aktif,” katanya.
Tim Caritas Keuskupan Agung Palembang berada di Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE). **
Kristiana Rinawati
