“Orang Samaria yang Bersyukur”
2Raj 5,14-17; 2Tim 2,8-13; Luk 17,11-19

Untuk ketiga kalinya (Luk 9,51; 13,22; 17,11), penginjil Lukas merasa perlu mengingatkan pada pembacanya bahwa konteks mukjizat yang dialami oleh kesepuluh orang kusta dalam Injil ini terjadi dalam “perjalanan-Nya ke Yerusalem”. Demikian juga untuk ketiga kalinya Lukas menampilkan karakter orang Samaria dalam Injilnya (Luk 9, 52-53; 10,33; 17,16).
Kisah ini dimulai dengan menampilkan setting tempat, yaitu “Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea” (ay.11). Jika kisah-kisah yang terjadi sepanjang perjalanan Yesus ke Yerusalem disusun secara kronologis, akan lebih masuk akal jika kisah penyembuhan sepuluh orang kusta ini terjadi segera sesudah Yesus memutuskan untuk pergi ke Yerusalem dalam Luk 9,51. Baru kemudian disusul dengan kisah penolakan orang Samaria terhadap rombongan Yesus (Luk 9,53). Meskipun secara kronologis kisah ini sulit untuk diklasifikasikan tetapi tampaknya penekanan kisah mukjizat ini terdapat pada pernyataan Yesus dalam ayat 17-19.
Doa para penderita: Yesus, Guru, kasihanilah kami!
Yesus memasuki suatu desa di mana sepuluh orang kusta berdiri di kejauhan sana. Mereka berteriak-teriak, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Mereka berteriak bukan untuk menjauhkan diri dari orang yang sedang datang, sebaliknya untuk mengharapkan belas kasihan-Nya. Kelihatannya para penderita kusta itu tahu bahwa aspek utama dari pelayanan Yesus adalah belas kasihan. Penyakit kusta membuat mereka hanya bisa berharap pada belas kasihan Tuhan.
Dalam kebiasaan masyarakat kuno, penderita kusta diperlakukan sebagai orang buangan. Mereka dianggap terkena tulah atau hukuman dari yang ilahi dan digolongkan dalam kelompok orang-orang yang najis. Karena sangat menular dan tidak ada yang berani mendekati penderita kusta maka diminta untuk tinggal di luar kota, di kamp-kamp khusus untuk penderita kusta (Bil 5,2-3). Pada saat mereka berjumpa orang di jalanan, dari kejauhan mereka harus berteriak-teriak untuk memperingatkan orang lain agar menjauh dari mereka (Im 13,45-46). Dengan demikian para penderita kusta ini adalah orang-orang yang paling rentan dalam masyarakat karena penyakit kusta telah membuatnya kehilangan segala-galanya.
Rasanya sulit membayangkan kondisi apa pun yang lebih menyedihkan daripada kusta. Sepuluh orang ini sangat menyadari keadaan mereka yang buruk. Meskipun demikian, mereka tidak tinggal diam tanpa melakukan apa-apa. Dari kejauhan mereka berseru-seru memanggil Nama Yesus. Dalam keadaan terpuruk itu, mereka menemukan kata-kata yang mengungkapkan perasaan dan keseluruhan diri mereka: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (ay. 13). Itulah doa mereka. Mereka menangis dengan sungguh-sungguh dalam doa dan mengalami kelegaan ketika melihat kemungkinan bantuan mendatangi mereka.
Ketaatan adalah jalan kepada keselamatan
Yesus mendengar seruan mereka dan “memandang” mereka dengan tatapan belas kasihan. Lalu Ia memberikan instruksi agar mereka pergi kepada imam: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam” (ay. 14). Yesus memperlihatkan cara yang unik dalam proses penyembuhan sepuluh orang kusta ini. Dia tidak menyentuh mereka atau memerintahkan agar penyakit mereka pergi. Dia tidak meresepkan obat, tidak membasuh mereka sebagaimana kisah Naaman (2 Raj 5,10-15), juga tidak menggunakan sarana lahiriah.
Namun kekuatan penyembuhan Yesus menyertai kata-kata instruksinya itu. Kekuatan belas kasih Tuhan menyembuh sepuluh orang yang menderita segera setelah mereka mematuhi perintahnya. “Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir”, demikian kesaksian Penginjil (ay.14). Ketaatan mereka mendatangkan keselamatan. Seandainya kesepuluh orang kusta itu tidak mau menaati instruksi Yesus dan memilih berdiam diri dan ragu-ragu, mereka tidak akan pernah sembuh.
Syukur itu ternyata sesuatu yang langka
Menyadari telah terjadi mukjizat yang akan mengubah sejarah hidupnya, salah seorang dari kesepuluh orang kusta yang kini telah tahir itu segera kembali kepada Yesus sambal memuliakan Allah. Ia bersujud di hadapan Yesus dan mengucapkan syukur. Penginjil Lukas menyebut orang itu sebagai orang Samaria. Mungkin penyebutan identitas itu untuk menekankan perbedaan sikap antara orang kebanyakan dengan orang asing yang dianggap tidak memiliki keimanan yang murni. Meski demikian justru orang asing itulah yang tahu berterimakasih atas mukjizat penyembuhan yang ia alami.
Pertanyaan Yesus pada bagian akhir perikop ini menekankan pesan penting dari kisah penyembuhan itu sendiri, “Bukankah kesepuluh orang telah ditahirkan? Di mana yang sembilan orang lainnya?” Hanya orang asing yang kembali untuk berterima kasih. Yesus menghargai inisiatif orang Samaria itu. Yesus telah memerintahkan orang-orang itu untuk pergi kepada imam. Tetapi hanya satu yang telah mengambil kesulitan untuk kembali dan berterima kasih kepada Yesus. Kemurahan Tuhan sering diabaikan dan tidak dihargai. Selain itu, seringkali mereka yang telah diberkati lupa meluangkan waktu untuk mensyukuri apa yang Tuhan beri. Yesus menghargai kepekaan orang Samaria dan memujinya
Pesan singkat
Anugerah Tuhan, meskipun diberikan kepada semua orang, tidak berarti bahwa semua orang memperoleh keselamatan. Tuhan memberkati umat manusia secara umum, tetapi hanya mereka yang menanggapi, yang menghargai apa yang telah Dia lakukan dalam Kristus yang akan menerima berkat sepenuhnya. Di antara sepuluh penderita kusta yang telah tahir, hanya orang Samaria yang mendengar kata-kata penghiburan Tuhan, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (Ay.19). Rasa syukurnya telah mengungkapkan imannya. Yesus memuji dia atas rasa syukurnya dan meyakinkan dia bahwa rasa syukur itu adalah bagain dari iman yang menyelamatkannya.
Quezon City 2022@donjustin