Retret tahunan imam Diosesan KAPal, yang dikenal dengan sebutan imam projo, dilaksanakan pada 20 hingga 26 Juli lalu di Wismalat Podomoro, Banyu Asin, Sumatera Selatan. Wismalat Podomoro merupakan tempat pembinaan milik KAPal yang dikelola oleh Komisi PSE, untuk pelayanan bagi umat yang akan retret, rekoleksi, ziarah, pelatihan, dan pembinaan rohani lainnya. Sarana ini dilengkapi dengan penunjang rohani, yakni Gua Maria Mater Misericordiae dan Via Crucis.

Mengapa Imam Projo retret di Podomoro? Ada sebuah makna tersimpan dari nama tempat tersebut. Kata “Podomoro” merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Indonesia, yaitu “podo” dan “moro”. Kata “Podo” berasal dari bahasa Jawa yang artinya “sama” atau “bersama”. Kata ini mengandung makna persatuan, kesetaraan, dan solidaritas antara individu atau kelompok. Sedangkan, “Moro” berasal dari bahasa Jawa dan Melayu dengan arti “berjalan” atau “bergerak”. Kata ini menggambarkan gerakan, perjalanan, atau progres yang terjadi. Jadi, “Podomoro” secara harfiah dapat diartikan sebagai “berjalan bersama” atau “bersatu dalam perjalanan”. Gabungan kedua kata ini mengandung makna filosofis tentang pentingnya kerjasama, kolaborasi, dan solidaritas dalam mencapai tujuan bersama. Lawan kata itu adalah “podolungo” (pergi).
Di tempat yang penuh makna ini, Mgr. Yohanes Harun Yuwono bersama 42 Imam Projo KAPal dalam wadah Unio KAPal merenungkan tema ‘Berjalan Bersama Memaknai Tahun Syukur di Tengah Arus Zaman’ dengan pembimbing RD. Antonius Moa Tolipung, Vikjen Keuskupan Pangkalpinang.

Dalam materinya, beliau menegaskan bahwa retret merupakan saat-saat di mana kita mengecas kembali inti dan makna identitas diri, kemanusiaan, dan panggilan sebagai pewarta kasih Allah. Ibarat batterai/Aki (Accu), kita harus dicas kembali setelah dipakai/beraktivitas sekian lama. Kemanusia kita sebagai orang yang terpanggil dikatakan “seimbang” kalau segala dimensi diri sebagai orang terpanggil, yaitu tubuh, jiwa, roh, fisik, mental, spiritual diberi porsinya yang tepat/seimbang. Keseimbangan ini dibutuhkan oleh setiap orang untuk mewujudkan segala daya dalam usaha untuk menjadikan dirinya semakin manusiawi atau dalam bahasa Kitab Suci: “menjadi sempurna seperti Bapa di Surga adalah sempurna” (bdk. Mat 5:48). Itulah inti dan makna identitas dan panggilan kita menjadi pewarta kasih Allah. Untuk menyeimbangkan inti dan makna identitas tersebut dibutuhkan sebuah proses yang membuahkan hasil. Dalam proses itu, semangat berjalan bersama adalah hal mutlak.

Deus Caritas Est: Pondasi Perjumpaan yang Mendengarkan
Minggu (10/10/2021) lalu di Gereja St. Yoseph Palembang, KAPal mengelar hajatan besar, yakni instalasi Uskup Agung KAPal dari Mgr. Aloysius Sudarso kepada Mgr. Yohanes Harun Yuwono. Pada waktu yang sama, bertempat di Roma, Paus Fransiskus telah membuka secara resmi Sinode Para Uskup. Sinode tersebut sedang berlangsung selama 2 tahun dan akan berpuncak pada Oktober 2023. Sinode ini mengambil tema Menuju Gereja Sinodal: Persekutuan, Partisipasi, dan Misi.
“Melalui Sinode tersebut, Paus Fransiskus ingin mengarahkan Gereja untuk berfokus pada perutusan, pewartaan, dan gerakkan misioner lewat semangat kerendahan hati dan belaskasih. Paus Fransiskus juga menyadari bahwa semangat “BERJALAN BERSAMA” sebagai Gereja hanya bisa terwujud dalam PERJUMPAAN. Di dalam perjumpaan itu langkah yang sangat menentukan adalah MENDENGARKAN,” kata RD. Anton yang pernah menjadi Dosen Moral di STFT St. Yohanes Pematangsiantar ini.

Ia menjelaskan bahwa Gereja Sinodal hanya bisa diwujudkan dalam kesadaran akan pentingnya “berjalan bersama”. Berjalan bersama itu hanya terjadi kalau ada perjumpaan. Tetapi perjumpaan tidak akan memiliki makna positif apa pun dan tidak memiliki daya yang menggerakkan dan mengubah apa pun, jika tidak ada sikap untuk mendengarkan. Kesadaran seperti inilah yang harus dibangun oleh setiap orang yang ingin atau bertekad untuk “berjalan bersama” dalam bentuk dan cara hidup seperti apa pun.
Kesadaran seperti inilah juga yang harus selalu dibangun dan diwujudkan, bahkan menjadi sebuah tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar. Dalam konteks KAPal, semangat jalan bersama dibingkai dalam ArDas KAPal. Salah satu hal yang pantas disadari dalam “perjumpaan yang mendengarkan”, yaitu bahwa semakin kita mendengarkan dalam perjumpaan dengan Allah dalam Kristus Yesus, kita akan semakin mampu juga untuk mendengarkan dalam perjumpaan dengan sesama.

Model perjumpaan yang mendengarkan tersebut mendorong semua orang untuk membangun persekutuan dan keterlibatan serta mewujudnyatakan semangat Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih).
“Kalau kita benar-benar membuka diri seutuhnya dan berani masuk ke dalam jantung/ruang batin perjumpaan yang mendengarkan, maka kita akan menemukan kenyataan bahwa diriku dan sesamaku adalah bagian dari sebuah persekutuan dan keterlibatan yang diikat erat oleh Allah yang adalah Kasih, yang menciptakan semua untuk terlibat dalam rencana dan kehendak kasih ilahi-Nya, dan dalam Kasih-Nya itu, Allah tidak membeda-bedakan orang (Kis 10:34). Di dalamnya, kita akan mampu menyadari dan mengalami bahwa aku dan sesamaku adalah saudara dan saudari, bukan saingan atau musuh. Di dalam perjumpaan yang mendengarkan kita dapat menyadari bahwa aku dan sesamaku adalah putra-putri Allah yang satu, yang adalah kasih. Tidak ada yang dikecualikan apalagi dikucilkan oleh Allah. Sebab, di dalam dan karena kasih-Nya, Allah tidak membeda-bedakan orang,” jelas Imam Diosesan Pangkalpinang tersebut.
Komitmen Iman: Kompas Menyikapi Arus Zaman
Kita hidup di dunia yang terus berubah-ubah. Dalam era AI, sebuah periode di mana kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intelligence) telah berkembang dan menjadi bagian integral kehidupan manusia. Era ini dimulai sekitar akhir abad ke-20 hingga saat ini, dan membawa perubahan yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.
Namun, era AI juga menghadirkan berbagai tantangan dan perdebatan. Salah satu contohnya adalah etika dan privasi. Ketika data yang sangat sensitif dikumpulkan dan digunakan oleh AI, penting untuk mempertimbangkan keamanan dan privasi informasi. Selain itu, juga dikhawatirkan tentang potensi AI untuk menggantikan pekerjaan manusia dan mempengaruhi lapangan kerja. Singkatnya, zaman era AI adalah periode di mana kecerdasan buatan telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Meskipun memberikan banyak keuntungan, era ini juga memunculkan berbagai tantangan.

Spiritualitas ‘Gerak Turun’
Salah satu tantangan zaman ini adalah kecenderungan ‘gerak naik’, misalnya melalui banyak cara setiap orang ingin menjadi yang paling hebat, paling utama, paling dikagumi, sebagai pemenang. Kecanggihan teknologi mendorong orang menjadi tinggi hati, cenderung ‘gerak naik’; sulit rendah hati.
“Hidup dan kehidupannya diwarnai oleh berbagai macam dorongan untuk “naik lebih tinggi, setinggi-tingginya”, “bergerak naik ke atas”. Namun, kita harus menyadari bahwa dorongan untuk bergerak naik ke atas, sama sekali tidak terdapat dalam Injil sebagai sumber hidup kita! Yesus bersabda, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:25-28). Inilah gerak turun yang memberi daya, menjadi jiwa yang melahirkan persekutuan dan keterlibatan. Jalan yang sudah ditempuh oleh Yesus sendiri. Setiap orang beriman, apalagi sebagai seorang Imam, kita dituntut untuk secara sadar memilih ‘spirit gerak turun yang memberi daya’, yang lahir dari belaskasih dan kerendahan hati,” urai RD. Moa yang pernah menjadi Rektor Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar.
Dalam materinya, ia menegaskan bahwa kerendahan hati dan belas kasih adalah dinamika “gerak turun”. Ia mengatakan, tanpa gerak turun kerendahan hati dan belas kasih hanyalah sekadar sebuah slogan belaka tanpa ada daya. Hanya sebuah isapan jempol. Kerendahan hati bukan sebuah tata krama apalagi hanya sekadar gestur (gerak isyarat) basa-basi. Belas kasih tidak sama dengan rasa kasihan. Sebab, tata krama, gestur basa-basi, dan rasa kasihan selalu mengandung adanya jarak yang memisahkan, bahkan sering kali juga merupakan sikap merendahkan.

“Kerendahan hati dan belas kasih sebagai dinamika gerak turun berarti menjadi dekat – harus berani meretas bahkan mendobrak batas-batas dan batasan-batasan – dengan orang lain, terutama mereka yang menderita, dipinggirkan, dan diasingkan! Tetapi hal itu hanya bisa aku lakukan kalau kita siap dan berani untuk terluka. Dalam nasihat untuk hidup dalam kasih (Rm. 12:9-21), Paulus mengingatkan setiap orang untuk “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis”. Kerendahan hati dan belas kasih menuntut kita untuk siap menjadi seperti orang lain itu,” kata imam kelahiran Lela, Maumere, 7 Juli 1968 tersebut.

Spiritualitas ‘I don’t Care’
Tantangan lain akibat perubahan zaman digambarkan dalam adegan yang dilukiskan oleh Penginjil Matius 27:24-26. Adegan tersebut menunjukkan salah satu sikap hidup yang tidak peduli! Matius melukiskan ratio fundamentalis (pilihan/sikap dasar) massa, yakni orang Yahudi yang menuntut supaya Yesus dihukum mati. Pernyataan di atas seakan-akan berbunyi: kami tidak peduli dengan segala akibatnya! We don’t care what so ever!
“Apapun alasannya, pilihan/sikap dasar spiritualitas I don’t care ini menjadi tanda nyata adanya kebuntuan nalar akal sehat. Lebih dari itu, adanya kebuntuan isi dan inti iman! Bagi orang yang memiliki pilihan/sikap dasar spiritualitas seperti ini, tidak ada kondisi yang masuk akal apalagi dalam cahaya misteri isi dan inti iman. Di hadapan pilihan/sikap dasar spiritualitas “I don’t care!” yang ditegaskan oleh Pilatus, serempak massa menyatakan pilihan/sikap dasar spiritualitas mereka juga: We don’t care what so ever!” kata RD Anton Moa.
Bagaimana reaksi Yesus menanggapi itu? Rupanya Yesus juga memperlihatkan semacam sikap “I don’t care!” “Penginjil Matius melukiskan dengan sangat jelas bahwa Yesus sama sekali tidak berusaha membela diri atas segala tuduhan para imam kepala dan tua-tua Yahudi terhadap-Nya di hadapan Pilatus. Bagi Yesus, hidup-Nya dan seluruh diri-Nya adalah pemberian total pada kehendak Bapa!” kata Romo yang ditahbiskan pada 02 Februari 1997.

Menurutnya, pilihan/sikap dasar spiritualitas “I don’t care!” antara massa Yahudi dan Yesus tampaknya serupa, namun jelas ada perbedaan substansial antara keduanya! Versi massa Yahudi (rakyat dan para pemimpin Yahudi) “tidak peduli” akan nasib Yesus karena mereka mengalami kebuntuan nalar akal sehat. Lebih dari itu, adanya kebuntuan isi dan inti iman mereka sebagai bangsa pilihan Allah!
“Lain halnya dengan Yesus, Ia seakan-akan “tidak peduli” akan nasib diri-Nya. Ia diam saja dan membiarkan arogansi massa Yahudi yang menuntut kematian-Nya. Pilihan/sikap dasar spiritualitas ini lahir justru dari daya nalar akal sehat. Lebih dari itu, adanya daya maha dahsyat dari isi dan inti iman-Nya! Ia taat total pada kehendak Allah, Bapa-Nya. Pilihan/sikap dasar spiritualitas ini ditegaskan dengan sangat lantang dan pasti dari atas kayu salib: “Sudah selesai.” Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. (Yoh 19:30). Berhadapan dengan sikap ‘I don’t care’ yang tidak baik, kita diundang memiliki spiritualitas ‘I don’t care’ versi Yesus Kristus,” kata Rm Anton Moa.

Segala tantangan yang muncul akibat perubahan zaman dapat dihadapi dengan iman. Guru-guru rohani biasanya memberikan nasehat demikian, “We have to grow in our life by facing obstacles.” Rupanya rintangan dan tantangan merupakan salah satu cara yang dipakai oleh Yesus dalam mendidik dan melatih para murid-Nya untuk maju dalam kepastian iman. Kisah yang dilukiskan dalam Mat 14: 22-33 menunjukkan hal tersebut.
“Pada pengalaman para murid dan secara khusus Petrus, kita disadarkan bahwa seringkali kegelapan, gelombang dan badai kehidupan di dalam zaman yang berubah-ubah ini membuat iman kita goyah bahkan hilang! Iman Petrus pada mulanya kecil, bercampur dengan keyakinan yang bernuansa psikologis,” kata Romo Anton Moa.
Ia mengatakan, iman yang benar bukan hanya sekadar sebagai sebuah keyakinan, melainkan penyerahan diri dan mengandalkan Allah seutuhnya. Ia menyitir Penginjil Matius menunjukkan bagaimana Yesus mendidik para murid dan Petrus mengenai iman yang benar dan matang!
“Iman yang benar dan matang diuji lewat berbagai cara. Bahkan lewat cara yang tidak masuk akal, yang hanya bisa dipahami dalam iman itu sendiri! Iman yang benar dan matang tidak selalu identik dengan rasa aman dan kepastian, sebaliknya iman itu sering kali memberikan tantangan. Dalam banyak hal iman yang benar dan matang itu justru memberikan semacam ketidakpastian dan rasa tidak aman. Hal ini tergambar sangat jelas dalam tokoh-tokoh iman: Abraham, Bunda Maria, St. Yosef, dll. Iman adalah suatu lompatan dari jaminan dan kepastian psikologis dan manusiawi kepada penyerahan diri secara total kepada kehendak Allah,” Pungkas RD. Anton, Imam Keuskupan Pangkalpinang.

Konkretisasi Mensyukuri Anugerah Iman
Materi retret ditutup oleh RD. Anton Moa dengan sebuah kisah berikut. Seorang pengembara pencari batu mulia dan parfum termahal dikejutkan oleh apa yang ditemukannya, yaitu sebongkah tanah liat. Karena tidak yakin dengan penglihatan dan penciumannya, maka ia bertanya, “Siapakah kamu ini?” Jawab tanah liat, “Aku tanah liat!” “Tetapi mengapa kamu begitu harum? Apakah kamu ini batu mulia dari Samarkand ataukah balsem yang sangat jarang didapat, ataukah kamu adalah parfum sangat mahal harganya?” timpal sang pengembara. Jawab tanah liat itu dengan sungguh-sungguh, “Aku hanya tanah liat, tak lebih dari itu…!” “Lalu…kalau begitu… kenapa kamu begitu harum semerbak?” tanya sang pengembara penasaran. Tanah liat menjawab, “Mau tahu rahasianya? Rahasianya adalah karena aku selalu dekat dengan bunga mawar!”
Relasi dekat dan intim dengan Tuhan menjadi dasar penting dalam mensyukuri anugerah iman yang ditaburkan oleh pendahulu. “Mensyukuri anugerah iman yang telah diwariskan oleh penabur iman dahulu berarti membangun komitmen iman. Kendati kita lemah bagai tanah liat jika dekat dengan Mawar maka akan harum. Oleh sebab itu, hendaknya kita menjadikan Yesus sebagai pusat hidup dan Ekaristi sebagai pusat puncak kehidupan beriman,” tandas Rm Anton Moa.

Ia mengajak para peserta retret untuk belajar pula dari sikap kontemplatif hati tak bernoda Maria. Sebab, Bunda Maria terbuka mendengarkan Sabda Allah dengan hatinya yang tak bernoda dan melakukan Sabda Allah itu juga dengan hatinya yang tak bernoda!
“Dengan sikap hati yang kontemplatif itulah Bunda Maria menyimpan dan merenungkan. Maria terus bertumbuh mengembangkan isi dan inti imannya dan menyatukan hatinya dengan hati puteranya,” pungkasnya.
Ia berharap, aktualisasi penghayatan panggilan dalam hidup perlu berpijak pada nasihat pepatah bahasa Latin, fortiter in re, suaviter in modo. Artinya, teguh dalam prinsip, namun lembut dalam cara. Hal mendasar yang perlu dibangun adalah sikap konsisten.
“Meneladan St. Yakobus, mari konsisten atas apa yang kita katakan dan janjikan. Menyadari kerapuhan diri, kita harus menyatukan diri dengan Tuhan. Bersama saudari-saudari, semoga kita tetap setia dalam pelayanan untuk mewartakan Allah adalah Kasih,” tandas Mgr. Harun dalam Misa Penutupan Retret di “podomoro”, bukan “podolungo”.
Selamat menjadi Rasul Cinta Kasih Allah untuk mengkonkretkan syukur atas anugerah iman. **
RD Widhy