Kesan dan Harapan Bagi Imam Balita Regio Sumatera

Tahbisan bukanlah akhir sebuah proses formatio (pembentukan) bagi para imam. Setelah ditahbiskan pun, para imam tetap perlu mendapat pendampingan dan bimbingan agar mendapat bentuk semakin baik dalam pewartaan Kabar Gembira.

Salah satu bentuk proses formation itu adalah melalui kegaitan On Going Formation (OGF) bagi para imam. “BINA DIRI TERUS MENERUS merupakan panggilan hakiki seorang imam; OGF adalah hal pokok dan harus dilakukan oleh setiap imam” (Pedoman Hidup Imam, hal. 17).

Sesi tanya jawab peserta | Foto: KOMSOS KAPal

Terdapat beberapa bentuk OGF yang perlu diperhatikan oleh setiap imam: Pertama, OGF HIDUP MANUSIAWI: Imam sendiri terlebih dahulu harus murni, baru sesudah itu memurnikan yang lain. Kedua, OGF HIDUP INTELEKTUAL: Imam terlebih dahulu harus belajar/diajar, baru mengajarkannya. Ketiga, OGF HIDUP PASTORAL: Imam terlebih dahulu menjadi terang, baru menerangi; terlebih dahulu pergi kepada Allah, baru mengantar orang kepada-Nya. Keempat, OGF HIDUP ROHANI/SPIRITUALITAS: Imam harus terlebih dahulu menguduskan diri, baru menguduskan orang lain. Kelima, OGF HIDUP KOMUNITER: Imam harus ‘tahu berkomunitas/hidup bersaudara’ sebelum memimpin ‘komunitas gereja/umat’.

Tema OGF Imam Balita Regio Sumatera berjudul “Berjalan Bersama: Menjadi Imam yang Tangguh”. Melalui tema OGF ini, para imam balita diharapkan sungguh dikuatkan untuk tangguh dalam semangat pelayanan dengan tidak mudah mengeluh, dan terus menerus mengolah diri, berani mengembangkan diri seturut kemampuan dan kebutuhan keuskupan, serta siap untuk diutus dalam mengembangkan Keuskupan. Guna mewujudkan harapan itu, mendengarkan masukan dari rekan sepelayanan baik Biarawan-Biarawati dan Awam adalah perlu dan bijak.

Sr. Henrika HK memberikan sharing pengalaman hidup bersama para imam diosesan | Foto: KOMSOS KAPal

Imam Yang Humanis

Dalam sessi materi I: Sharing tentang pengalaman hidup bersama Imam Diosesan, tiga narasumber menyampaikan kesan dan pesannya. Diawali oleh Sr.M.Henrika HK, PU Kongregasi Suster HK. Beliau menegaskan bahwa impian dan harapan yang disampaikan merupakan impian Tuhan pula.

“Kami mengharapkan imam-imam muda berani bergerak keluar dari zona nyaman diri untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi umat” pinta pimpinan HK tersebut.

Dalam diri para imam muda terdapat harapan akan Gereja yang semakin hidup dan berkembang, sebab mereka memiliki semangat muda, bekal yang cukup dan memiliki kreatifitas. Oleh sebab itu, imam muda hendaknya berani berinovasi, berdinamika bersama dengan imam dan umat dalam keterbukaan penuh kasih, dan menghargai keanekaan perbedaan yang  memampukan untuk berkembang dan menerima satu terhadap yang lain.

Menurut Sr. Henrika HK, menjalankan tugas sebagai imam tidak mudah dan penuh tantangan, maka tekun berdoa membangun relasi yang dekat akrab dengan Tuhan perlu diupayakan; melakukan bina diri mandiri, mengasah kemampuan atau potensi diri.

Singkatnya, bina lanjut merupakan kebutuhan yang lahir dan berkembang sejak ditahbisankan. Perubahan zaman yang cepat akibat kemajuan teknologi ikut menyajikan tantangan sekaligus peluang bagi pelayanan para imam. Komputerisasi dan otomatisasi mempengaruhi seluruh kehidupan manusia. Ketrampilan yang dibutuhkan ialah berubah total, pilihannya adalah berubah atau punah.  

“Sebagai imam muda ditantang untuk bergerak di dalam segala kemajuan teknologi, khususnya di bidang media digitaldengan mengandalkan Tuhan, mendengar bimbingan-Nya, dan menemukan kehendak-Nya. Pelayanan para imam di era transformasi digital perlu mengedepankan humanitas. Melakukan pendekatan secara personal yang diwarnai keramahan, kerendahan hati dan penghargaan satu sama lain” nasihat Sr. Henrika HK.

Menurut narasumber, imam diosesan yang tangguh memiliki kreatifitas, imajinasi, intuisi, emosi dan etika yang baik sehingga dapat membangun dan mengembangkan kehidupan gereja semakin dinamis dan keuskupan menjadi kuat. Hal ini tergambar dalam kesan positif umat mengenai imam diosesan.

Secara umum umat memberi kesan bahwa para imam saling menjaga dan menumbuhkan panggilan dengan baik, mengusahakan perkembangaan gereja dengan mempromosikan panggilan khusus, peduli terhadap kehidupan iman dan kesejahteraan umat, dan memiliki belarasa dan keprihatinan terhadap orang kecil, lemah, miskin, tersingkir, difabel. Dipihak lain, ada pula kesan negatif yang pantas diperbaiki, yakni: komunikasi kurang lancar, terlalu birokrasi dan kurang mengedepankan dialog, penampilan nyentrik, dan reksa pastoral terlalu kaku yang membuat umat sakit hati.

Romo Andreas Suparman SCJ memberikan sharing pengalaman hidup bersama para imam diosesan | Foto: KOMSOS KAPal

Imam Yang Inklusif

Pembicara kedua, RP. Andreas Suparman SCJ, Superior Provinsial SCJ Indonesia menyampaikan materinya dengan judul: Integritas yang Inklusif – Dasar Sharing Hidup dan Karya Bersama. Beliau menyampaikan beberapa pokok sharing dan masukan yakni: Pertama, Kebersamaan, interakasi dan komunikasi sebagai Kongregasi SCJ dengan para imam Diosesan.

Pada tingkat kelembagaan, antara Keuskupan dan Kongregasi SCJ Provinsi Indonesia terjadi relasi, komunikasi dan kerjasama yang amat baik. Komunikasi antar pimpinan Kongregasi dan para Uskup sangat baik dan terbuka. Demikian pula pada tingkat pribadi antar pribadi, secara umum baik. Memang di beberapa tempat dan juga antar pribadi terjadi komunikasi dan kerjasama yang kurang kondusif.

Kedua, Kerjasama menjalankan reksa pastoral dan mengembangkan Gereja paroki atau  Keuskupan. Ketegangan yang seringkali terjadi seringkali disebabkan oleh perbedaan pandangan dan “kepentingan” Keuskupan dengan struktur terirorialnya dan tarekat dengan struktur personalnya, sehingga perlu disepakati hubungan dan kerjasama yang paling mendekati kepentingan kedua belah pihak.

Menurut Provinsial SCJ Indonesia, ada beberapa hal yang mungkin perlu diusahakan untuk membangun hidup dan pelayanan bersama. Pertama, masing-masing menegaskan kembali identitasnya berdasarkan sejarah dan Hukum Gereja dan peraturan-peraturan yang lain.

Relasi, komunikasi dan kerjasama yang baik hanya bisa terjadi apabila masing-masing pihak itu membangun identitas diri yang integral. Akan tetapi menegaskan identitas diri ini tidaklah membuat diri eksklusif, namun inklusif, artinya menjadikan pihak lain sebagai bagian dari diri dan panggilannya. Dalam reksa pastoral Uskup adalah penanggung jawab utama.

Kita perhatikan apa yang dikatakan oleh dokumen Christus Dominus: Memang semua imam, diosesan maupun religius, bersama dengan Uskup ikut menerima dan melaksanakan imamat Kristus yang satu, dan karena itu diangkat menjadi rekan-rekan sekerja yang arif bagi Tingkatan para Uskup. Tetapi dalam menjalankan reksa jiwa-jiwa peran utama ada pada para imam diosesan. Sebab mereka itulah yang terinkardinasi atau terikat pada Gereja partikular; merekalah yang sepenuhnya membaktikan diri untuk melayaninya, untuk menggembalakan sebagian kawanan Tuhan. Maka mereka mewujudkan satu himpunan para imam (presbiterium) dan satu keluarga, dengan Uskup sebagai bapanya. Untuk dapat mengatur pelayanan-pelayanan suci secara lebih sesuai dan lebih serasi di antara para imamnya, Uskup harus mempunyai kebebasan seperlunya dalam membagi-bagikan tugas-tugas dan tanda-tanda bakti gerejawi (CD 28). Para imam religius, yang ditakdiskan untuk tugas imamat, supaya mereka pun menjadi rekan-rekan sekerja yang arif bagi Tingkatan para Uskup, sekarang ini – menanggapi makin mendesaknya kebutuhan jiwa-jiwa – dapat masih lebih banyak lagi membantu para Uskup. Maka dari itu harus dikatakan, bahwa karena suatu alasan yang tepat mereka termasuk klerus keuskupan, sejauh mereka di bawah kewibawaan para Uskup ikut serta menjalankan reksa jiwa-jiwa dan karya-karya kerasulan (CD 34),” ungkap RP. Parman SCJ.

Kedua, kerjasama. “Hendaknya dipelihara kerja sama yang teratur antara pelbagai tarekat religius, maupun antara tarekat-tarekat religius dan klerus diosesan. Selain itu hendaklah dijalin koordinasi yang erat antara semua karya dan kegiatan kerasulan. Koordinasi itu amat tergantung dari sikap adikodrati budi maupun hati, yang akar serta dasarnya adalah cinta kasih.” (CD 35.5).

Oleh karena itu “kebijakan-kebijakan pastoral” yang diambil hendaklah berdasarkan Hukum dan aturan Gereja yang jelas serta sikap adikodrati budi maupun hati yang akarnya adalah cinta kasih. Penjamin semua ini adalah uskup.

Ketiga, hidup dan karya tidak bisa dipisahkan juga dengan sarana-sarana. Sarana-sarana ini di jaman dulu tidak terlalu jelas pembedaannya, apakah sarana Keuskupan atau Tarekat. Inilah yang saat ini seringkali menimbulkan masalah. Oleh karena itu mau tidak mau saat ini memang harus ada kejelasan. Sikap yang dibutuhkan di sini adalah sikap kebijaksanaan dan keterbukaan dalam melihat sejarah dan membicarakannya.

Perihal Sikap dan gaya imam Diosesan di tengah dan bersama umat, RP. Suparman SCJ memiliki kesan bahwa para imam diosesan sungguh ingin tampil mengumat. Saking meng-umat-nya kadang jadi sulit membedakan antara imam dan umat. Tentu saja hal ini bukan hanya imam diosesan, tapi juga imam religius.

Hal ini tidak hanya terlihat dalam pakaian saja, namun juga dalam sikap dan tingkah laku. Di satu sisi ini baik karena tidak membuat jarak, namun di lain sisi juga mengaburkan “kesaksian” tertentu. Memang benar pepatah Italia “L’abito non fa il prete”, Pakaian tidak menjadikan Imam. Namun manusia itu tetap membutuhkan “simbol”, homo simbolicum. Maka hendaknya para imam mengenakan pakaian yang menyimbolkan jati diri dan sikap hidupnya: kesederhanaan, kemurnian, keagungan, kesucian.

Berdasar pengalaman bersama para Imam Diosesan, dan dengan melihat situasi dan tuntutan jaman yang berkembang, kehadiran dan keberadaan imam diosesan seperti apa yang diharapkan ke depan? Pater Provinsial SCJ Indonesia menawarkan 4 poin untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pertama, para imam yang menampilkan kemudaan Gereja, sebagaimana ditegaskan oleh Paus Fransiskus dalam “Christus vivit”. Muda ini bukan soal usia, namun hati. Muda berarti tidak mengikatkan diri pada masa lampau, tidak mau bergerak, “menjadi muda ketika ia menjadi dirinya sendiri, ketika ia memperoleh kekuatan untuk menjadi selalu baru dari Sabda Tuhan, Ekaristi, kehadiran Kristus dan dari kekuatan Roh Kudus setiap hari. Gereja menjadi muda ketika ia dapat terus-menerus kembali pada sumbernya.” (ChV 35).

Kedua, kesaksian hidup rohani. Imam dipanggil untuk bersatu lebih erat dengan Kristus dan bersama dengan Kristus kepada Bapa. Inilah yang harus menjadi dasar dan sumber seluruh hidup dan pelayanan imam. Maka kehidupan rohani seperti itu harus bisa dilihat dan dirasakan (bukan dipamerkan) oleh umat. Umat saat ini seringkali mengalami kesulitan untuk bisa menghayati dan meyakini bahwa hidup rohani itu masih perlu dan relevan bagi kehidupan. Di sinilah sangat dibutuhkan kesaksian para imam.

Ketiga, Imam adalah pelayan. Dalam banyak kesempatan Bapa Paus selalu menekankan bahwa para imam itu pelayan Allah dan umat-Nya. Ia bukanlah penguasa maupun pemilik. Maka kesadaran sebagai pelayan inilah yang harus selalu disadari dan dihayati, misalnya dalam hal liturgi kita ini melayani liturgi. Demikian juga dalam karya di paroki atau di manapun harus disadari dan dihayati kita ini pelayan. Sikap sebagai pelayan yang harus ditekankan adalah melayani dengan rendah hati dan murah hati. Untuk itu pelayan harus mudah dihubungi, mudah ditemui, bahkan proaktif untuk ditemui.

Keempat, Persaudaraan. Selain sikap sebagai pelayan, ada sikap yang tak kalah penting juga, yakni sikap sebagai sahabat atau saudara. Sebagai sahabat dan saudara bagi sesama imam dan juga umat tentu saja harus memiliki sikap compasio (cum+patior) yakni menanggung atau menderita bersama. Sikap ini sangat bagus diungkapkan oleh Bapa Paus dengan “gembala berbau domba”.

“Para imam muda adalah harapan utama umat, karena Gereja membutuhkan orang-orang yang bersemangat muda. Maka semoga kita sungguh semakin menegaskan identitas kita yang integral dan inklusif. Persaudaraan dan kerjasama yang baik antara para imam diosesan dan kaum hidup bakti akan semakin menampakkan persekutuan Gereja dan mengefektifkan karya pelayanan dan kesaksian hidup kita. Proficiat!” pungkas RP. Andreas Suparman SCJ.

Billy memberikan sharing pengalaman hidup bersama para imam diosesan | Foto: KOMSOS KAPal

Imam Yang Sehat

Sessi ini diakhiri dengan pemaparan materi oleh Bp. Fransiskus de Sales Billy Jaya, tokoh awam KAPal yang mengetuai Komisi Kerawam KAPal. Beliau melakukan survey dengan 110 orang responden perihal kesan dan pesan umat terhadap imam balita, khususnya diosesan KAPal. Melalui hasil survey tersebut, beliau menyajikan materi mengenai 4 pilar utama kehidupan para imam: sanitas, scientia, sosialitas, dan sanctitas.

Sanitas (hidup sehat) berkaitan dengan kemampuan menjaga dan memelihara kesehatan, baik perihal pola makan sehat, gaya hidup sehat, olahraga, tidak merokok, kelestarian lingkungan sehat. Scientia (pengetahuan) berkaitan dengan kemampuan memperluas wawasan, belajar, membagikan pengetahuan, dan kemampuan mengambil sebuah keputusan yang bijak dan adil. Sosialitas (hidup sosial) berkaitan dengan perilaku, interaksi, cara berkomunikasi dan kemampuan bekerjasama dan hidup bersama. Sanctitas (kekudusan) berkaitan dengan semangat doa dan tuntutan kesalehan lain bagi seorang imam.

Melalui survey yang dilakukan, Bp. Billy menyampaikan beberapa harapan umat terhadap imam diosesan balita. Para imam diharapkan menjaga panggilan sebagai imam diosesan sebagai imam yang menjadi pelopor hidup rohani dan jasmani, membaur dengan umat, semangat, adil, homilinya berbobot, berani mengakui kekurangannya, gembala berbau domba, mengembangkan diri namun tetap rendah hati, menjaga kesucian imamat, dan tidak neko-neko dengan lawan jenis.

Para imam diharapkan menjadi pelayan dan pemimpin umat yang mengarahkan pada hal-hal baik, menjadi teladan umat, tidak pilih-pilih umat, bisa dekat dengan semua umat, selalu bahagia dalam menjalani panggilan. Para imam juga diharapkan tetap sehat sehingga pelayanan semakin maksimal.

“Paus Fransiskus memberi tips hidup sehat yaitu tetap rendah hati, makanan sederhana, mendengarkan musik, rajin membaca, bersosialisasi, jangan memikirkan kekuarangan yang dimiliki, sederhana, menari, dan memanjakan diri” pungkas Bp. Billy Jaya.

** RD Martinus Widiyanto

Leave a Reply

Your email address will not be published.