Kematangan Spiritual Imam

Sumatera merupakan pulau terbesar kelima di dunia dengan panjang 1.800 km dan lebar 400 km, yang didalamnya terkandung kekayaan sumber daya alam dan habitat. Pulau idaman ini memiliki tiga nama lain dalam sejarah yakni Swarnadwipa, Percha, dan Andalas.

Para peserta sedang menyimak penjelasan RD. Irfantinus Tarigan | Foto: KOMSOS KAPal

Sumatera: Pulau Impian, Imam Balita: Impian Gereja

Swarnadwipa artinya pulau emas. Julukan untuk pulau sumatera yang ditemukan pertama kali dalam cerita India kuno. Percha berasal dari bahasa Melayu yang berarti sobekan. Sebutan yang dilatarbelakangi oleh kisah mengenai kapal yang layarnya sobek saat berlayar di Sumatera. Kata ‘perca’ juga sering dimaksudkan mengacu pada patahan daratan di timur Sumatera.

Sedangkan, nama lain ‘Andalas’ disematkan karena sebagian orang berpendapat bahwa Sumatera mirip dengan daerah Andalusia di Spanyol. Pendapat lain menyebutkan bahwa daun Andalas mirip bentuknya dengan pulau Sumatera. Bahkan Selat Malaka pernah dikenal sebagai Selat Andalas. Kisah ini menyiratkan pesan bahwa pulau Sumatera sejak dulu kala menyajikan impian besar bagi penghuninya. Para Imam Balita Regio Sumatera yang melayani umat di pulau ini pun menjadi impian besar bagi perkembangan Gereja Katolik di Pulau tersebut.

RD. Irfantinus Tarigan | Foto: KOMSOS KAPal

Kematangan Spiritual dan Manusiawi

RD. Irfantinus Tarigan didaulat oleh Tim OGF Regio Sumatera untuk menjadi narasumber dalam Kegiatan OGF Imam Balita Regio Sumatera di Podomoro.  Dalam materinya yang berjudul ‘Kematangan Spiritual Imam’, RD. Irfan  menegaskan bahwa sejatinya seseorang yang sudah ditahbiskan menjadi imam haruslah memiliki kematangan spiritual yang memadai. Hanya saja, tahbisan imamat yang diperoleh itu tidak dengan otomatis mematangkan hidup spiritual seseorang. Tak ada jalan pintas dalam hidup spiritual. Imam mesti mengalami pertemuan personal dengan Pribadi Yesus dan dia membiarkan hidupnya diubah dan digerakkan oleh Pribadi tersebut.

Dalam materi yang telah dipersiapkan dengan baik itu, RD. Irfan yang kesehariannya menjadi Staf di Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar mengajak mengenali situasi lapangan dengan bercermin dari kisah anak hilang dalam Lukas 15:11-32.

Dalam pengalamannya dalam kurun waktu empat tahun terakhir, sebagai pendamping para religius, calon imam, dan imam; RD. Irfan lebih banyak menggunakan menemukan tipe anak sulung daripada si Bungsu yang lari meninggalkan rumah.

Si Bungsu akan cepat dikenali sebab skandal yang dia lakukan gampang tercium dan biasanya menjadi batu sandungan. Sedangkan, Si Sulung sulit di deteksi sebab dia adalah religius, calon imam atau imam yang memenuhi standar yang dituntut.

“Di dalam pertemuan-pertemuan, saya menangkap nuansa bahwa si Anak Sulung akan cenderung banyak berbicara tentang Allah, tetapi jarang berbicara dengan Allah. Cenderung ‘terlalu fokus’ pada panggilan, tetapi gagal fokus pada Yang Memanggil. Ringkasnya, relasi dengan Yesus dangkal. Saya tidak mengajak anda untuk menjadi Anak Bungsu yang membuat skandal lalu pulang bertobat; tidak juga memaklumi bila anda menjadi si Sulung yang tak pernah merasa in biarpun selalu berada di seputaran rumah Tuhan. saya mengajak anda untuk menjadi anak ketiga dan utama dalam kisah anak hilang itu, yakni menjadi Anak Manusia, Yesus, yang menceritakan perumpamaan itu” ajak RD. Irfan, Imam Diosesan KAM, dalam materinya tentang kematangan spiritual imam.

Bila seseorang semakin matang dalam hidup spiritualnya, maka dia tidak lagi tinggal pada compliance atau non-internalizing identification, tetapi akan beranjak ke internalizing identification. Ia meyakini kebenaran iman yang dia katakan dan nilai-nilai itu secara perlahan membawanya ke internalisasi. Dia dengan bebas menerima nilai-nilai iman dan membiarkan dirinya diubah oleh nilai itu sehingga semakin serupa dengan Kristus. Kematangan spiritual berarti more like Jesus.

Upaya matang dalam hidup spiritual itu dapat diusahakan dengan pendekatan psikospiritual supaya mengenali dengan baik yang seolah-olah dan yang sungguh-sungguh. Imam adalah manusia yang terbatas namun dalam dirinya ada semacam kehendak untuk terus menerus melampaui diri sendiri. Allah sendirilah yang menganugerahkan kehendak sadar tak terbatas itu guna menemukan wilayah keilahian yang tak terbatas di dalam diri manusia yang terbatas. Inilah alasan bahwa manusia bisa mengenali dan menjawab panggilan yang ilahi.

Dalam materinya, RD. Irfantinus juga mengingatkan bahwa setelah lahir manusia berinteraksi dengan lingkungan dan orang-orang disekitarnya, serta terlibat dalam berbagai peristiwa suka dan duka. Setiap interaksi menuntuk manusia menentukan pilihan.

Satu sisi dalam dirinya ada hasrat untuk memilih berdasar yang dikehendaki, tapi disisi lain harus memperhitungkan batas-batas yang ada di hadapannya. Sedemikian kompleks hingga dalam diri setiap orang terbentuk emotional attitudes (kecenderungan/ perilaku emosional) di alam sadar atau bawah sadarnya. Kisah orang muda kaya dalam Matius 19:16-24 memberi inspirasi dalam hal ini. Si pemuda itu adalah baik. Ia tahu kata-kata Yesus adalah kebenaran, namun dia mundur sebagai pilihannya. Ia terjebak di dalam kecenderungan emosionalnya, tanpa peduli dengan kenyataan sesungguhnya.  

Manusia, termasuk Para Imam, dalam hidup hariannya selalu berjumpa dengan tiga tipe nilai, yakni nilai alamiah (natural values), nilai ilahi-moral (self-transcendent values), dan kombinasi antara nilai alamiah-transenden (values in combination). Tipe-tipe nilai itu melahirkan tiga dimensi juga. Pertama, dialektika antara self-transcendent values dan sisi conscious manusia.

Dimensi ini berbicara tentang dosa atau keutamaan sebab berurusan dengan nilai-nilai agama / moral dan manusia yang sadar melakukannya. Kedua, dialektika antara sisi values in combination dan sisi conscious / unconscious manusia. Dimensi ini manusia dihadapkan dengan yang sungguh-sungguh baik atau seolah-olah baik. Ketiga, persentuhan dengan nilai-nilai alamiah (natural values). Di sini manusia berhadapan dengan normalitas (sehat secara mental) dan patologis (sakit secara mental). Sikap tepat dalam menentukan pilihan atas nilai-nilai itu dapat membantu bertumbuh dalam kematangan spiritual.

Kematangan spiritual atau manusiawi tidaklah mengandaikan bahwa seseorang tidak akan pernah berbuat salah atau dosa. Seseorang dikatakan matang, bila dia mampu sesegera mungkin kembali ketika dia jatuh, dan berjuang untuk tidak gagal lagi. Antara spiritualitas dan aspek manusiawi tidak pernah bisa dipisahkan.

Seorang imam yang matang secara spiritual akan matang juga secara manusia. Kematangan manusiawi juga akan memicu kematangan spiritual. Keduanya mempengaruhi dan saling mengandaikan. “Dagingiah sampai pada rohnya, dan rohaniah hingga ke dagingnya” demikian nasihat St. Agustinus. Oleh sebab itu, mematangkan hidup doa dan kepribadian  perlu dikembangkan dengan baik. Kemampuan mengenali karakter diri bisa digunakan untuk berdialog dengan Allah (doa). Kemudian berkembang dalam relasi yang benar dengan sesama sehingga diteguhkan dan dimatangkan.  

Mendengarkan Tubuh

Langkah penting lain untuk bertumbuh dalam kematangan spiritual adalah mendengarkan tubuh. “Dalam konteks panggilan, tubuh adalah spasi (ruang) tempat panggilan ditaburkan. Di dalam ketertubuhan itulah, Allah memilih untuk bertemu dengan manusia” tegas RD. Irfan dalam materinya.  Oleh sebab itu, menghidupi kemanusian berarti menghidupi kebertubuhan; manusia perlu menghuni tubuhnya. Caranya dengan merasa cukup nyaman dengan diri sendiri, semakin menerima tubuh yang terberi, dan hal pokok lainnya adalah dari seksualitas ke personalitas. Seksualitas sama seperti termometer yang dapat mengukur kematangan kepribadian seseorang. 

Seorang imam semakin matang secara spiritual, jika dia makin mampu mengurbankan diri secara bebas seperti Kristus. Hal ini tidak sekali jadi, tetapi akan muncul sebagai buah pertemuan terus menerus dengan Pribadi Yesus. Oleh sebab itu, seorang imam tidak boleh menganggap dirinya telah ‘sampai’ dalam hal beriman sebab akan selalu dalam peziarahan.

Pelayanan yang dilakukan, doktrin atau ajaran iman yang diketahui serta diajarkan oleh para imam harus berkembang dari dalam iman, bukan di’sampingnya’. Ketika seorang imam mempersembahkan Ekaristi, ia sendiri juga sedang mempersembahkan dan mengurbankan dirinya di dalam perayaan itu. Lalu seperti kata St. Agustinus “tidak perlu mencari di luar diri sendiri seekor domba untuk dipersembahkan kepada Allah. Setiap orang, di dalam dirinya, memiliki sesuatu yang dapat ia salibkan”.

Semoga diinspirasi oleh materi ini, para imam balita semakin mampu ber-‘MIMPI’, yakni mempertangguh imamat melalui pengalaman iman. Pengalaman iman dalam pelayanan sehari-hari, baik dalam karya parokial, kategorial, maupun perutusan lainnya.

** RD Martinus Widiyanto

Leave a Reply

Your email address will not be published.