Aku melangkah perlahan memasuki sebuah gereja yang megah dan sepi, karena sedang tidak ada perayaan iman atau kegiatan rohani saat itu. Aku mencari tempat duduk dalam keraguan dan kebingungan. Aku bingung antara mau duduk-duduk saja atau berdoa. Mau berdoa, rasanya sesak dan tidak pantas. Dosa ini begitu berat. Aku juga bingung, tempat duduk yang mana yang sebaiknya aku pilih. Duduk di paling depan, aku merasa tidak layak dan merasa hina. Duduk di belakang, aku tidak nyaman dengan lalu lalang orang yang datang hanya untuk berfoto-foto.
Di sebuah pojok tersembunyi aku terduduk. Persis di samping ruang pengakuan. Meskipun tidak ada pastor yang siap dengan pelayanan Sakramen Pengakuan Dosa, aku bergetar berada di samping ruang tersebut.
Aku berlutut, kuarahkan pandang mataku ke salib besar di atas tabernakel. Sangat lama aku memandangi, sampai air mataku merembes keluar membasahi pipi. Aku pun tertunduk, dalam malu dan rasa bersalah yang besar. Mulutku terkunci, sangat sulit untuk mengucapkan kata-kata doa. Hanya hati ini yang terus berseru, “Tuhan kasihanilah aku, orang yang sangat berdosa ini.” Begitu seterusnya, berulang-ulang, entah sampai berapa kali di dalam diamku berjam-jam di dalam gereja tersebut.
Seorang suster tua, masuk gereja. Sepertinya ia sedang memeriksa. Jika ada orang di dalam gereja, mungkin ia akan mempersilakan orang-orang untuk pergi karena ia akan segera menutup dan mengunci pintu gereja. Aku masih belum mau pergi, aku bersembunyi di ruang pengakuan dosa. Dalam ruangan itu, entahlah apa yang aku lakukan. Tidak jelas, antara melamun atau berdoa. Yang jelas, pikiranku melayang ke belakang, ke masa lalu, menelusuri perjalanan hidupku.
Namaku Mariatun. Di sebuah desa di pelosok Jawa, aku menikah dengan seorang pemuda Katolik. Karena pernikahan itu, aku pun memutuskan untuk menjadi orang Katolik. Kami dikaruniai dua anak perempuan yang sehat, pintar, dan lincah. Aku sungguh bahagia dengan keluarga kecilku di dalam keterbatasan ekonomi. Sayang seribu sayang, kebahagiaanku itu tidak langgeng. Tiba-tiba suami menghilang bertahun-tahun, dan ketika diketahui keberadaannya, ia hidup bersama perempuan yang lain. Hancur hati ini!
Dalam kehancuran hati seperti itulah aku pergi ke Hong Kong, atas ajakan tetangga yang sudah terlebih dahulu merantau di Hong Kong selama belasan tahun. Selain ingin melupakan rasa sakit hati, aku ikut saja ajakan temanku, karena juga mulai terpikir untuk mencari biaya untuk pendidikan kedua anakku. Bagiku saat ini, anakku adalah segala-galanya. Segala hal kutempuh, demi masa depan anak-anak. Kesuksesan temanku secara ekonomi, mendorongku untuk memberanikan diri meninggalkan anak-anak dan menitipkan mereka kepada ibu mertua di kampung halaman.
Hong Kong, kota modern yang membuatku terbengong-bengong ala orang kampung, telah menjadi bagian dari perjalanan hidupku. Masa depan anak-anakku kupertaruhkan di kota itu. Aku tidak lagi memikirkan suami atau laki-laki pengganti, yang ada dalam benakku hanyalah bekerja dan bekerja demi anak-anak. Namun segala rencana tidak terjadi sebagaimana yang aku bayangkan. Berkali-kali aku memperoleh majikan yang tidak cocok. Sejauh ini, aku berusaha bekerja sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan tidak pernah sekalipun menuntut yang tidak-tidak. Tapi selalu saja aku dituduh yang tidak-tidak. Aku tidak dipercaya. Aku dicurigai mencuri barang-barang majikan. Aku dicemburui majikan perempuan. Dan segudang persoalan lain, termasuk pertemanan dengan sesama pekerja Indonesia, yang terkadang justru menjadi beban.
Aku ingin mendapatkan teman Indonesia yang senasib sepenanggungan, yang rela untuk saling mendukung dan membantu. Tetapi justru aku sering masuk dalam suasana dilematis. Aku bingung dan tidak tegaan, karena berteman berarti harus siap memberikan utangan. Banyak sekali teman-temanku yang hidup dalam mentalitas “Gali lubang, tutup lubang” dalam hal keuangan. Mereka sampai hafal betul, tanggal berapa teman-temannya gajian, karena pada tanggal itulah mereka akan datang untuk merayu-rayu agar diberi hutangan.
Aku bukannya tidak punya hutangan. Entah kenapa kebutuhanku selalu saja kurang. Bukan hanya kebutuhan anak-anak, keluarga besarku pun ikut menjadi tanggunganku. Aku yang terlahir sebagai tulang rusuknya laki-laki, harus menjadi tulang punggung keluarga besarku, baik dari orangtuaku, maupun dari keluarga mertua. Aku tidak kuat! Aku punya banyak hutang, termasuk kepada majikan. Utangku tidak main-main, tidak kecil, melainkan segunung. Tidak cukup menutupi hutangku dengan berhutang kepada teman-teman. Ujung-ujungnya, kujajakan tubuhku kepada sembarang lelaki demi bisa menutupi hutang-hutangku. Itulah yang saat ini kuratapi di dalam gelap dan sempitnya ruang pengakuan dosa. **
Agustinus Guntoro SCJ