Rm. 1:1-7; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; Luk. 11:29-32; BcO Yer. 1:1-19; (H)
Anugerah Cuma-Cuma

Saudara-saudari terkasih, kita hidup di zaman yang penuh kepalsuan dan ketidakpastian. Berita palsu, janji kosong, dan kecurigaan membuat kita sulit mempercayai sesama — bahkan terkadang, sulit percaya kepada Tuhan sendiri. Dalam suasana seperti inilah Injil hari ini berbicara kepada kita. Yesus menegur orang banyak yang menuntut tanda dan mukjizat agar mereka mau percaya kepada-Nya. Namun Yesus menjawab dengan tegas: “Angkatan ini tidak akan diberi tanda selain tanda nabi Yunus.”
Dalam kisah Perjanjian Lama, nabi Yunus diutus Allah untuk menyerukan pertobatan kepada penduduk Niniwe. Meski pada awalnya enggan, Yunus akhirnya taat pada kehendak Allah, dan lewat pewartaannya, seluruh kota Niniwe bertobat serta diselamatkan dari hukuman. Dengan menyebut “tanda nabi Yunus”, Yesus ingin menegaskan bahwa Dialah tanda keselamatan yang sejati — bukan tanda ajaib yang bersifat lahiriah, melainkan karya kasih Allah sendiri yang datang untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Sayangnya, banyak orang pada waktu itu menutup hati mereka, sehingga tidak mampu melihat kehadiran Allah yang hidup di tengah-tengah mereka.
Saudara-saudari, bukankah sering kali kita pun bersikap serupa? Saat doa kita tak segera dijawab, kita mulai meragukan kehadiran Tuhan dan bertanya, “Apakah Tuhan benar-benar ada?” Kita menunggu tanda besar atau mukjizat luar biasa, padahal setiap hari Tuhan sebenarnya sudah menaburkan begitu banyak rahmat kecil yang sering luput dari perhatian kita — napas kehidupan, kasih keluarga, sahabat yang setia, bahkan kekuatan untuk melewati hari yang sulit.
Yesus mengajak kita hari ini untuk mengubah cara beriman. Iman sejati bukanlah iman yang menuntut bukti, melainkan iman yang percaya penuh pada kasih Tuhan, bahkan ketika tanda-tanda-Nya tidak selalu tampak jelas. Tuhan memberi anugerah-Nya bukan karena kita layak, melainkan karena Ia murah hati. Kasih-Nya adalah anugerah cuma-cuma yang terus mengalir kepada siapa pun yang mau membuka hati.
Marilah kita belajar dari orang-orang Niniwe yang berani bertobat dan kembali kepada Allah. Mereka tidak menunggu mukjizat untuk percaya, tetapi menanggapi sabda Tuhan dengan hati yang terbuka. Semoga kita pun semakin setia membangun relasi yang mendalam dengan Tuhan melalui doa, devosi, dan perbuatan kasih. Dalam kesetiaan itu, kita akan menyadari bahwa seluruh hidup kita adalah anugerah cuma-cuma dari Allah yang penuh kasih.
Apakah kita berani membuka hati untuk bertobat dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya? Semoga Tuhan meneguhkan iman kita dan memberkati langkah hidup kita setiap hari.
Fr. Yosepin Manurung
Tingkat 1
