Bullying: Dosa Besar Dunia Pendidikan

Bullying termasuk dalam tiga dosa besar di dunia pendidikan. “Menurut kementerian pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi (kemendikbudristek), ada tiga dosa besar dalam dunia pendidikan di Indonesia, yaitu kekerasan seksual, bullying (perundungan), dan intoleran,” tegas Zuklarnain.

Miris, bullying terjadi dari anak usia dini sampai perguruan tinggi.

Seminar Anti Bullying dan Kekerasan, Sabtu (27/1) | Foto: Dokumentasi Panitia

“Kekerasan seksual terjadi di sekolah-sekolah dengan jumlah korban yang cukup banyak. Bahkan ada pendidik dalam satu lembaga pendidikan, melakukan kekerasan seksual dengan jumlah korban mencapai 40 orang. Sikap intoleran antar agama, suku, ras, dan budaya juga sering terjadi di sekolah-sekolah.”

“Maka kita yang bekerja di dunia pendidikan harus berkomitmen untuk mencegah tiga hal ini. Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kita,” ajaknya kepada 200-an guru dan staff sekolah dasar Katolik Kota Palembang.

Sabtu (27/1), dilangsungkan Seminar Anti Bullying dan Kekerasan di Gedung PT Erlangga, Palembang. Hadir sebagai narasumber, Zulkarnain M.Pd, selaku fasilitator nasional anti bullying dan kepala seksi ketenagaan bidang PGTK Dinas Pendidikan Kota Palembang. Pagi itu, ia memberikan seminar berjudul Menciptakan Lingkungan Sekolah yang Aman dan Ramah.

Seminar Anti Bullying dan Kekerasan, Sabtu (27/1) | Foto: Dokumentasi Panitia

Jenis-jenis Bullying

Zulkarnain memaparkan data, bahwa 84℅ anak di Indonesia pernah mengalami bullying dan 75% pernah menjadi pelaku. 45% yang melakukan bullying adalah laki-laki dan 25% dilakukan oleh perempuan.

“Ada empat macam bullying. Pertama, secara verbal (body shaming). Misal, guru memanggil anak yang gemuk dengan sapaan bontet. Anak-anak yang berambut keriting dipanggil keriting dan sapaan keling untuk anak-anak yang berkulit hitam,” jelas Zulkarnain.

Jenis kedua dilakukan secara fisik, “yaitu dengan menjewer, memukul dan menendang. Ketiga, relasional atau bullying sosial adalah tindakan yang mengucilkan atau membatasi hubungan dengan orang lain. Keempat, cyberbullying yaitu bullying yang dilakukan melalui sosial media.”

Menghukum Termasuk mem-bully?

Zulkarnain, yang Alumnus SD Negri 59 Palembang ini mengatakan, bahwa  bullying ternyata juga dilakukan oleh guru dan petugas sekolah dalam mendisiplinkan anak. Anak-anak dicap nakal, hanya jika mereka tidak mengikuti kehendak guru.

Hukuman adalah cara yang lumrah diberikan oleh tenaga pendidik sekolah. Sayangnya, hukuman ini tidak selalu berdampak memperbaiki tingkah laku anak. Malah ini bisa memperburuk.

“Hukuman adalah tindakan yang dilakukan kepada anak, agar mengikuti kehendak tetapi merasa tersakiti secara fisik dan emosional. Contoh hukuman yang diberikan secara fisik adalah mencubit atau kekerasan fisik lainnya. Hukuman emosional yaitu membentak, mempermalukan, menghina dan mengejek. Maka dari itu hukuman bukanlah respon yang seharusnya dilakukan oleh guru.”

Seminar Anti Bullying dan Kekerasan, Sabtu (27/1) | Foto: Dokumentasi Panitia

Lalu Bagaimana Tindakan yang Tepat?

Menurut Zulkarnain, tindakan yang tepat adalah dengan melakukan pendekatan disiplin positif secara holistik. Inti dari pendekatan positif adalah dialog. Dia memaparkan empat fondasi dialog, yaitu masuk akal (reasonable), terkait (related), saling menghargai (respectfull), dan bermanfaat (helpful).

“Memberikan kesempatan kepada anak untuk menceritakan apa yang dirasakan atau mencurahkan isi hatinya (reasonable), adanya hubungan yang baik antar guru dan anak (related), rasa saling menghargai (respectfull), dan guru berperan penuh dalam memberikan solusi atas permasalahan anak (helpful).

Tidak Ada Anak yang Nakal

Dalam menjalankan pendekatan ini, tenaga pendidik perlu menanamkan pemikiran, bahwa tidak ada anak yang nakal, “yang ada adalah anak yang kurang kesadaran kritis, pengetahuan dan keterampilan hidup untuk mencapai apa yang diinginkannya.”

Pola pikir guru tidak sama dengan anak-anak. Guru dan anak-anak memiliki perbedaan dalam segi pengalaman dan pengetahuan. Sehingga solusinya adalah “guru harus masuk ke dalam dunia anak-anak. Memberikan pembelajaran sesuai dengan gaya mereka,” tutur pria yang berusia 52 tahun ini.

Solusi yang diberikan Zulkarnain ini sejalan dengan transformasi pendidikan, perubahan ke arah yang lebih baik. Ia memberikan lima tolak ukur bahwa pendidikan dikatakan berhasil berubah ke arah lebih baik. Pertama, pendidikan harus berpihak kepada tumbuh kembang murid. Kedua, mampu menciptakan lingkungan yang aman, sehingga peserta didik akan merasakan kenyaman. Ketiga, mengembangkan budaya refleksi. Maksudnya agar guru dan kepala sekolah melakukan evaluasi diri. Keempat, menjalin hubungan yang baik dengan orang tua atau wali murid. Kelima, meningkatkan hasil belajar terutama dalam bidang literasi, numerasi, dan karakter.

Seminar Anti Bullying dan Kekerasan, Sabtu (27/1) | Foto: Dokumentasi Panitia

Membangun Karakter Penting!

“Membangun karakter yang baik itu penting. Kita tidak membutuhkan anak pintar yang tidak bisa menghargai orang lain. Kita tidak akan mendidik mereka menjadi pribadi yang memandang rendah orang lain. Justru orang-orang yang biasa saja tetapi memiliki karakter yang baik itulah yang akan diambil. Ilmu akademis bisa dipelajari, tetapi karakter yang baik tidak mudah didapatkan,” ucap Zulkarnain, ayah empat orang anak ini.

Ia juga mengajak para pendidik memberikan pelayanan terbaik, dengam menekankan nilai-nilai kemanusiaan.

“Mari kita memberikan pelayanan dengan rasa kemanusian berdasarkan hakikat pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Mari menjadikan diri kita  sebagai pelayan yang baik untuk anak-anak. Menjadi guru professional dan menghindari hal-hal yang berbau bullying. Jika terjadi bullying atau kekerasan, maka kita tidak memanusiakan peserta didik kita,” ajak Zulkarnain.

**Kristina Yuyuani Daro

Baca juga: Daster

Leave a Reply

Your email address will not be published.