Paus Fransiskus menulis pengantar untuk buku barunya yang berjudul “Iman Adalah Sebuah Perjalanan,” yang dirilis oleh Vatican Publishing House (LEV) pada tanggal 6 November. Isinya adalah kutipan dari beberapa pidato Paus tentang keutamaan teologis iman.
Ketika saya menjadi imam di Buenos Aires, dan saya mempertahankan kebiasaan ini bahkan sebagai uskup di kota asal saya, saya senang berjalan kaki melalui berbagai lingkungan untuk bertemu dengan sesama imam, mengunjungi komunitas religius, atau berbicara dengan teman-teman. Berjalan kaki baik untuk kita: menghubungkan kita dengan apa yang terjadi di sekitar kita, membantu kita menemukan suara, bau, dan kebisingan dari realitas yang ada di sekitar kita. Dengan kata lain, berjalan kaki membawa kita lebih dekat dengan kehidupan orang lain.
Berjalan berarti tidak tinggal diam: percaya berarti memiliki kegelisahan batin yang mendorong kita menuju sesuatu yang “lebih”, untuk mengambil satu langkah lebih maju menuju ketinggian yang harus dicapai hari ini, mengetahui bahwa besok jalan itu akan membawa kita lebih tinggi—atau lebih dalam—dalam hubungan kita dengan Tuhan, yang persis seperti hubungan dengan orang terkasih dalam hidup kita atau di antara teman-teman: tidak pernah selesai, tidak pernah dianggap remeh, tidak pernah sepenuhnya puas, selalu mencari, belum cukup. Mustahil untuk berkata bersama Tuhan: “Semua sudah selesai; semuanya ada pada tempatnya; itu sudah cukup.”
Karena alasan ini, Yubelium 2025, bersama dengan dimensi penting harapan, seharusnya mendorong kita pada kesadaran yang lebih besar bahwa iman adalah ziarah dan bahwa kita adalah peziarah di bumi ini. Kita bukanlah turis atau pengembara: kita tidak bergerak tanpa tujuan, secara eksistensial. Kita adalah peziarah. Peziarah menjalani perjalanan mereka dalam terang tiga kata kunci: risiko, usaha, dan tujuan.
Risiko
Saat ini, kita berjuang untuk memahami apa artinya bagi orang Kristen di masa lalu untuk melakukan ziarah, karena kita terbiasa dengan kecepatan dan kenyamanan bepergian dengan pesawat atau kereta api. Namun, memulai perjalanan seribu tahun yang lalu berarti mengambil risiko tidak pernah kembali ke rumah karena banyaknya bahaya yang ditemui di sepanjang berbagai rute. Iman mereka yang memilih untuk berangkat di jalan lebih kuat daripada rasa takut apa pun. Para peziarah di masa lalu mengajarkan kita kepercayaan ini kepada Tuhan, yang memanggil mereka untuk melakukan perjalanan ke makam para Rasul, Tanah Suci, atau tempat suci tertentu. Kita juga meminta Tuhan untuk memiliki sebagian kecil dari iman itu, untuk menerima risiko menyerahkan diri kita kepada kehendak-Nya, mengetahui bahwa kehendak-Nya adalah kehendak Bapa yang baik yang menginginkan bagi anak-anak-Nya hanya apa yang terbaik bagi mereka.
Upaya
Berjalan memang berarti mengerahkan diri. Hal ini diketahui oleh banyak peziarah yang sekali lagi memadati rute ziarah kuno. Saya teringat pada ziarah ke Santiago de Compostela, Via Francigena, dan berbagai jalur yang muncul di Italia, yang terinspirasi oleh beberapa orang suci atau saksi yang paling terkenal (Santo Fransiskus, Santo Thomas, serta Don Tonino Bello) berkat kerja sama positif antara lembaga publik dan organisasi keagamaan. Berjalan kaki memerlukan upaya untuk bangun pagi, menyiapkan ransel berisi barang-barang penting, dan menyantap sesuatu yang sederhana. Lalu, ada kaki yang sakit dan rasa haus yang menyengat, terutama pada hari-hari musim panas yang terik. Namun, upaya ini terbayar dengan banyaknya hadiah yang ditemui selama perjalanan: keindahan ciptaan, manisnya seni, keramahtamahan penduduk setempat. Mereka yang melakukan ziarah dengan berjalan kaki—banyak yang dapat bersaksi tentang hal ini—menerima lebih dari sekadar upaya yang dikeluarkan. Mereka menjalin ikatan yang indah dengan orang-orang yang mereka temui di sepanjang jalan, mengalami saat-saat hening yang sejati dan introspeksi yang bermanfaat yang sering kali tidak mungkin dilakukan karena kesibukan waktu kita, dan memahami nilai dari barang-barang penting dibandingkan dengan gemerlapnya memiliki semua barang yang tidak perlu tetapi kehilangan apa yang dibutuhkan.
Tujuan
Berjalan sebagai peziarah berarti kita memiliki tujuan dan bahwa gerakan kita memiliki arah, tujuan. Berjalan berarti memiliki tujuan, tidak bergantung pada keberuntungan. Mereka yang berjalan memiliki arah, tidak mengembara tanpa tujuan, tahu ke mana mereka akan pergi, dan tidak membuang waktu dengan berkelok-kelok dari satu tempat ke tempat lain. Itulah sebabnya saya sering menekankan betapa miripnya berjalan dan menjadi orang percaya. Mereka yang memiliki Tuhan di hati mereka telah menerima anugerah bintang penuntun untuk diikuti—cinta yang telah kita terima dari Tuhan adalah alasan bagi cinta yang harus kita berikan kepada orang lain.
Tuhan adalah tujuan kita, tetapi kita tidak dapat mencapai-Nya dengan cara yang sama seperti kita mencapai tempat suci atau basilika. Memang, mereka yang telah menyelesaikan ziarah dengan berjalan kaki tahu betul bahwa akhirnya mencapai tujuan yang dirindukan—saya berpikir tentang Katedral Chartres, yang telah lama mengalami kebangkitan dalam ziarah berkat inisiatif, seabad yang lalu, dari penyair Charles Péguy—tidak berarti merasa puas.
Dengan kata lain, meskipun secara lahiriah peziarah tahu bahwa mereka telah tiba, secara batiniah mereka sadar bahwa perjalanan belum berakhir. Tuhan seperti itu: Dia adalah tujuan yang mendorong kita lebih jauh, tujuan yang terus-menerus memanggil kita untuk terus maju karena Dia selalu lebih besar daripada gagasan yang kita miliki tentang-Nya.
Tuhan sendiri menjelaskannya melalui nabi Yesaya: “Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:9). Bersama Tuhan, kita tidak pernah selesai; kita tidak pernah mencapai-Nya. Kita selalu dalam perjalanan, selalu mencari-Nya. Namun, justru perjalanan menuju Tuhan inilah yang memberi kita kepastian yang menggembirakan bahwa Dia menunggu kita untuk memberi kita penghiburan dan kasih karunia-Nya.
**Paus Fransiskus (Vatican News)
Diterjemahkan dari: Pope Francis: Faith is a journey that leads us to God
Baca juga: Bacaan Liturgi Kamis, 07 November 2024