Romo Frans: Sepanjang Usia Imamat di Komsos KAPal

Hampir setiap pagi, kala jarum jam menunjukkan pukul 05.15 WIB, terdengar seruan ini, “Rina bagun, Misa!”

Setiap subuh Romo Frans sudah berada di kantor. Kebetulan, kamar tempat saya menginap berada tepat di belakang kantor.

Pagi itu kuakui sangat dingin. Hujan rintik-rintik berlangsung sepanjang malam. Namun, kupaksakan badan ini bangun. Usai misa, saya mengikuti langkah Romo untuk kembali ke kantor. Tidak lupa, dia selalu singgah di salah satu kebunnya, yang terletak di depan dapur Susteran Hati Kudus. Tak banyak yang dia lakukan pagi itu. Hanya membuang batu-batu di atas tanah.

Langkah kaki kami berhenti di kantor. Hampir setiap hari, di kantor isinya hanya kami berdua. Dia membuka laptop putih merk Toshiba yang dipakainya. Lantas, saya pun bertanya, “Romo, kenapa aku harus Misa setiap pagi? Pagi ini dingin banget. Malas rasanya bangun.”

Kisah Awal Panggilan

“Saat saya kecil di kampung, saya juga selalu Misa harian. Kalau hujan seperti ini, saya potong daun pisang untuk menutup kepala. Tidak hanya ikut Misa harian, saya juga setiap hari tugas misdinar,” lanjut Romo Frans.

“Oooooh. Pantas Tuhan panggil Romo untuk jadi romo,” jawabku.

“Ya salah satunya karena itu. Pastor paroki lihat saya yang rajin Misa. Dulu, saya masih mengalami Misa Latin. Jadi, selain melayani altar seperti sekarang, Misdinar juga menjawab seluruh jawaban Misa.”

Romo Frans waktu itu mengenyam pendidikan di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Suatu saat, ketika dia masuk ke kelas, teman-temannya meneriakinya, “Jadi pastor, jadi pastor, jadi pastor!”

“Saya bingung. Ada apa ini? Rupanya pastor paroki sudah mengatakan kepada wali kelas,” kisahnya.

Lantas, wali kelas memintanya pulang untuk izin ke orang tua, agar dia melanjutkan pendidikan ke seminari kecil. Langsung saja, Frande, sapaan kecilnya, meminta izin kepada kedua orang tua.

Ibu dari Romo Frans, Maria Winter, yang akrab disapa Ina Kalar, berat melepasnya. Namun, Sang Ayah, Aloysius Paser, begitu mendukung panggilannya. Romo Frans akhirnya masuk ke Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko. Jalan panggilan rupanya sempat berhenti di sana.

Di tengah jalan, Romo Frans keluar dari seminari dan melanjutkan pendidikan di SMAS Katolik St. Gabriel, Maumere. Romo Frans bercerita, dia pernah mendapatkan sejumlah uang karena puisi yang dibuatnya terpilih oleh bupati. Bahkan dia sangat senang, ketika bertemu bupati dan diminta untuk membacakan puisi itu.

Uang yang didapatkannya ditabung. Bersama dengan uang pemberian Sang Ayah yang adalah petani, ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Pastoral Institut Pastoral Indonesia, Malang. Saat Kuliah Kerja Nyata, dia ditempatkan di Tugumulyo, Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Ternyata di Tugumulyo, tempat yang selalu dikisahkan Romo Frans sebagai tanah kelahiran keduanya inilah, panggilannya menjadi imam kembali bertumbuh. “Waktu itu, saya mengajar agama di sekolah dan di gereja sebagai katekis. Saya dengan sepeda waktu itu berkeliling, mencari umat Katolik.”

Masyarakat Tugumulyo merupakan transmigran asal Jawa. Mereka yang beragama Katolik, berhasil ditemukan oleh Pak Frans, sapaan Romo Frans saat dia masih katekis. Pak Frans lantas melaporkannya ke pastor paroki, agar mereka mendapat pelayanan.

“Kondisi jalannya tidak seperti sekarang. Kamu bayangkan, jalanan masih tanah merah. Waktu hujan, saya harus pikul itu sepeda. Sudah pikul, saya jatuh lagi. Untung ada seorang bapak yang menolong saya. Dia tanya, ‘Bapak dari Xaverius, kan? Ayo ke rumah saya. Sepeda ini biar nanti anak saya yang bawa.’ Sampai di rumahnya, istrinya menghidangkan teh hangat dan pisang goreng. Eh, ternyata bapak itu dulunya orang Katolik. Dia pindah agama karena pernikahan. Bapak itu janji mau bawa istri dan anaknya menjadi Katolik,” cerita Romo Frans.

“Kok, Romo waktu itu kepikiran jadi romo?” tanyaku.

“Karena situasi.. Imam saat itu sangat sedikit. Daerah pelayanan sulit dan sangat luas. Lalu hati saya terketuk, mengapa saya tidak menjadi imam saja? Saya ingin masuk Diosesan Palembang waktu itu. Saya ngomong sama almarhum Romo Harjo. Dia langsung bilang, ‘Masuk SCJ!’ Saya tanya ke dia, lho Romo kan imam diosesan, kenapa saya disuruh masuk SCJ?’ dia bilang kalau dulu dia mau masuk SCJ, tapi tidak diterima,” kisahnya disambung dengan tawa garing.

Romo Frans memang punya bakat menulis, bahkan sejak kecil. Saat masih frater, Romo Frans pernah magang di Majalah Utusan dan Harian Sriwijaya Post.

Sebelum menerima tahbisan, dia diutus untuk studi jurnalistik di Fakultas Ilmu Komunikasi Marquette University, Milwaukee, USA. Setelahnya, ia menerima tahbisan diakon di Yogyakarta dan ditahbiskan imam pada 14 Oktober 1998 di Paroki Hati Kudus Palembang.

Sepanjang Hidup Imamat untuk Pelayanan Komunikasi Sosial

Terhitung 1 Februari 1999, Romo Frans menjadi ketua Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Agung Palembang (KAPal). Selama berkarya di Komsos, Romo Frans menangani banyak karya. Dua karya besar yang diawalinya adalah Tabloid Komunio milik Keuskupan Agung Palembang dan Majalah Fiat milik SCJ Indonesia.

“Saya mengawali Tabloid Komunio itu dari minus,” kisahnya. Minus yang dimaksud adalah keuangannya. Sementara keuangan Majalah Fiat dari awal ditanggung oleh Kongregasi SCJ.

“Kita cetak dari awal di Rambang sampai Rambang tutup. Waktu itu Pak Polin orang Kompas yang membantu. Awalnya masih hutang. Lalu bersama-sama kita cari iklan. Sekarang kita ada supplement (sebutannya untuk sisipan tabloid tambahan),” katanya.

Mungkin para pembaca Tabloid Komunio bertanya-tanya, mengapa ada sisipan Tabloid Yayasan Xaverius, Xavetta, Tara, maupun Kusuma Bangsa. Menurut Romo Frans, ini win win solution, di mana sekolah-sekolah mendapat peserta didik, sementara Tabloid Komunio akan tetap hidup dengan kontribusi dana mereka.

“Selain itu, tentu ada umat yang peduli. Mereka menyumbang untuk karya kita.”

Awalnya Romo Frans tidak memiliki karyawan. Dia menyiapkan semuanya sendiri, dari meliput, menulis, design, sampai distribusi ke tangan pelanggan. Namun ia merasa, kalau ini pekerjaan tim. Maka ia mulai merekrut orang-orang muda.

“Saya bayangkan, saya itu seperti Yesus yang memanggil murid-murid-Nya. Saya lewat ruang OMK Hati Kudus, lalu saya tanya, ‘Kamu mau ikut saya di Tabloid Komunio?’  Mereka mau,” katanya.

Tabloid Komunio dan Majalah Fiat sempat berhenti cetak dan dialihkan secara online. Namun, umat pedesaan masih sering bertanya tentang kehadiran media cetak ini. Mereka mengaku rindu untuk tahu informasi di Keuskupan Agung Palembang yang wilayah pelayanannya begitu luas. Maka di awal tahun 2023, Romo Frans memutuskan untuk mencetak kembali kedua media ini. Romo Frans juga mengisi siaran renungan pagi dan malam di Radio Sonora Palembang. Dia sendiri yang menulis naskah dan menyiarkannya.

Meski sudah berusia lebih dari setengah abad, namun Romo Frans juga aktif meng-upgrade diri. Karya Komisi Komsos KAPal juga mencakup bidang audio visual. Dia selalu menemani tim Komsos saat ada shooting. Romo Frans juga jelih menangkap peluang-peluang yang ada. Misalnya kerjasama dengan siapa saja yang membutuhkan jasa foto, shooting, editing, dan design. Penghasilan dari karya audio visual ini dipakainya untuk inventaris alat-alat, seperti kamera dan drone.

Bapak Bagi Kaum Muda

Romo Frans sangat peduli kaum muda. Mereka yang lulus SMA dan tidak mampu secara ekonomi melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, direkrutnya menjadi tim Komsos. Di sini, kaum muda di-training selama satu tahun dan dikuliahkan pada tahun berikutnya.

“Romo mengapa repot-repot mau training kami?” tanyaku.

“Ya, karena pendiri kongregasi saya Pater Dehon, peduli terhadap kaum muda. Juga kalau mau cari karyawan tetap, saya tidak ada uang untuk menggaji mereka. Lagi pula, banyak orang baik yang mau berkontribusi untuk kuliah kalian,” katanya.

Selain men-training kami, Romo Frans juga sering memberikan training jurnalistik ke sekolah-sekolah Katolik, termasuk seminari dan biara. “Saya prihatin, anak-anak jaman sekarang, krisis membaca dan menulis,” begitu katanya.

Kita Ini Satu Tim

Romo Frans selalu mau bekerja sama dengan orang lain. Dia aktif dalam Signis Indonesia, yakni asosiasi komunikator Katolik. Dia sempat beberapa kali menjabat ketua Signis Indonesia. Beberapa anggota Signis mengatakan, kalau di masa kepemimpinan Romo Frans, Signis Indonesia mendapat banyak anggota baru. Tahun ini, ia terpilih sebagai anggota Signis Asia periode 2023-2026.

Selain Signis, Komisi Komsos KAPal juga aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Komsos Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Romo Frans bahkan mengikutsertakan Komsos KWI dan beberapa Komsos keuskupan lainnya untuk bersama-sama mendokumentasikan dan mempublikasikan Indonesian Youth Day 2023. ** Kristiana Rinawati

Baca juga: Bacaan Liturgi Minggu, 28 April 2024

2 thoughts on “Romo Frans: Sepanjang Usia Imamat di Komsos KAPal

Leave a Reply

Your email address will not be published.