Mungkin kita merasa aneh saat mengikuti Misa Minggu Prapaskah V. Semua patung indah di gereja bahkan juga crucifix (salib ber-corpus) ditutup kain ungu. Bukankah kita seharusnya melihat adegan yang menyakitkan di Kalvari, ketika mendengar bacaan Kisah Sengsara pada Minggu Palma?
Meskipun kelihatannya berlawanan dengan suasana sengsara, namun praktik penyelubungan patung dan gambar-gambar suci pada minggu terakhir prapaskah dalam maknanya. Gereja Katolik hendak meningkatkan indera kita dan membangun kerinduan dalam diri kita, akan Minggu Paskah.
Penyelubungan ini juga ada kaitannya dengan bacaan Minggu Prapaskah V atau Minggu Sengsara Tuhan. Pada penanggalan liturgi lama yang diambil dari Injil Yohanes 8:46-59, perdebatan antara Yesus dan pihak otoritas agama Yahudi berakhir dengan ketegangan. Kita bisa melihat bahwa pihak otoritas Yahudi mengambil batu untuk melempari Dia. Kuncinya pada ayat terakhir bacaan Injil ini, yaitu Yesus menghilang dan meninggalkan Bait Allah.
Dasar Dokumen Gereja
Penyelubungan patung-patung dan gambar-gambar kudus diatur dalam dokumen gereja yang berjudul “Perayaan Paskah dan Persiapannya” (Litterae Circulares De Festis Paschalibus Praeparandis et Celebrandis / Circular Letter Concerning the Preparation and Celebration of the Easter Feasts), yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat Ilahi (Congregatio de Cultu Divino) pada 16 Januari 1988.
“Kebiasaan memberi selubung pada salib-salib dan gambar-gambar dalam gereja dapat dipertahankan bila diperintahkan demikian oleh Konferensi Waligereja. Salib-salib tetap terselubung sampai akhir liturgi Jumat Agung, tetapi gambar-gambar sampai awal perayaan Malam Paskah” (art. 26)
Makna Penyelubungan
Dalam buku “Celebrations of the Liturgical Year” oleh Monsignor Peter Elliott pada tahun 2002, dikatakan bahwa “kebiasaan menyelubungi salib-salib dan gambar-gambar … memberikan banyak penerimaan dalam hal psikologis religius, karena kebiasaan itu membantu kita untuk memusatkan pikiran pada hal penting yang utama yaitu karya penebusan Kristus.”
Menurut Romo Mark J. Gantley, JCL., tujuan penyelubungan salib untuk menekankan pengungkapan salib itu pada Jumat Agung. Tujuan penyelubungan patung-patung suci adalah untuk menghilangkan sementara pusat perhatian kita pada pribadi yang dimaksud dalam patung itu dan memusatkan perhatian kita kepada pusat misteri iman kita yaitu wafat dan kebangkitan Kristus.
Menurut Philip Kosloski ada tiga makna mengenai kebiasaan ini. Pertama, penggunaan selubung mengingatkan bahwa kita sedang berada dalam masa khusus. Ketika kita memasuki gereja dan memperhatikan bahwa semua patung ditutup, kita akan segera tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda. Dua pekan terakhir dalam Masa Prapaskah dimaksudkan sebagai waktu persiapan untuk Trihari Suci dan dengan selubung ini menjadi penginngat yang kuat untuk bersiap-siap.
Kedua, penyelubungan ini dapat memusatkan perhatian kita akan sabda-sabda yang diucapkan selama Misa. Ketika kita mendengar bacaan kisah sengsara pada Minggu Palma, indera kita dimungkinkan untuk memusatkan perhatian terhadap kata-kata yang sangat menarik dalam Injil dan benar-benar masuk ke dalam peristiwa itu.
Ketiga, Gereja menggunakan selubung untuk membuat rasa penantian yang tinggi akan Minggu Paskah. Hal ini lebih jauh lagi dinyatakan, ketika Anda mengikuti Misa harian dan melihat selubung itu setiap hari. Anda merasa bahwa selubung itu tidak ada lagi karena menyembunyikan gambar-gambar yang sangat indah. Itulah intinya, bahwa selubung itu tidak dimaksudkan untuk dipasang selamanya. Gambar itu perlu untuk diungkapkan dan tidak semestinya ditutup. Pembukaan selubung sebelum merayakan Malam Paskah, yang merupakan pengingat besar akan kehidupan kita di dunia. Kita hidup di dunia yang “terselubung,” kita berada dalam pengasingan dari rumah sejati kita. Hanya dengan kematian kita sendiri maka selubung itu diangkat dan akhirnya kita dapat melihat segala keindahan dalam hidup kita.
Apakah patung dan salib pribadi di rumah perlu diselubungi?
Dokumen Gereja hanya mengatur penyelubungan patung dan gambar suci di gereja. Namun tidak ada larangan dan keharusan untuk melakukan kebiasaan ini di rumah. Maka sederhananya, boleh dilakukan, namun tidak harus.
Perlu diketahui makna mengenai kebiasaan ini, jangan sampai menjadi suatu ritual belaka. Namun jika kebiasaan ini membantu pertumbuhan iman, silakan dilakukan.
Ada pendapat mengenai hal ini, diantaranya membantu keluarga terutama anak-anak untuk berpartisipasi dalam masa liturgis gereja. Juga ada pendapat bahwa membuat masa sengsara menjadi lebih bermakna bagi anak-anak, dengan melakukan persiapan menyambut Hari Raya Paskah, lebih dari sekadar mendekorasi rumah dengan hiasan Paskah sekuler.**
Romo Antonius Joko SCJ